Renungkan munajat indah dari Ibnu Athaillah as-Sakandary ini:
“Oh
Tuhanku, bagaimana aku bisa menjadi mulia sedangkan diriku Engkau pusatkan pada
kehinaan? Bagaimana pula aku tidak menjadi mulia, sedangkan Engkaulah yang
memberikan hubungan padaku?
Di
satu sisi kita ini menginginkan kemuliaan, tetapi sesungguhnya kita ini tak
lebih dari tanah, makan dari yang tumbuh dari tanah dan kembali ke tanah.
Kehormatan dan kemuliaan apa yang sebenarnya hendak kita banggakan? Bahan baku
kita yang kotor dan hina, lahir batin kita tak lebih dari bahan yang sangat
rendah.
Kesombongan
dan kekaguman mana yang bisa kita andalkan? Kehebatan mana yang bisa kita
presentasikan? Namun di sisi lain betapa mulianya kita ini, karena Allah
mencipta kita, memberi rizki kita, mengilhami kita, memberi hidayah kita dan
memberi petunjuk kepada kita. Tak ada yang lebih terhormat dan lebih mulia
dibanding sebuah kerangka hubungan seperti itu.
Ketika anda optimis dengan berbagai harapan yang melimpah,
janganlah kita teralpakan oleh ego kita, tapi ingatlah bahwa kita tak lebih
dari debu-debu yang bertaburan. Tetapi ketika kita merasa hina dina, janganlah
kita terjepit oleh pesimisme terhadap Rahmat Allah Swt, karena Dia juga yang
mencipta dan menganugerahi segalanya kepada kita.
Semua
itu terbangun agar kita tetap kembali dan mengembalikan diri kita padaNya,
bukan pada kita. Astaghfirullah…