Sayyid
Saqib Mursalan pernah ditanya, mengapa orang Muslim mundur dan orang Nasrani
maju? Jawaban Mursalan adalah karena kedua-duanya (Muslim dan Nasrani)
sama-sama meningalkan kitab suci mereka masing-masing. Kemudian Mulla Shadra
pernah membuat statement sebagai berikut: Ketika saya ke Eropa disana saya
jumpai Islam tapi tidak saya jumpai Muslim. Ketika saya ke Mesir banyak saya
jumpai Muslim tapi saya tidak menjumpai Islam.
Tokoh
yang lainpun membuat pernyataan yang hampir sama. Apa yang dilakukan Barat sekarang
itulah kita seharusnya. Apa yang kita lakukan sekarang itulah Barat yang
seharusnya (‘amaluna ‘amaluhum wa ‘amaluhum ‘amaluna). Ketiga pernyataan di
atas mengindikasikan bahwa kembali kepada al-Qur’an tidak tertawar lagi. Bila
ini terabaikan maka tidak mustahil bahwa pesan-pesannya akan dikonsumsi
orang-orang yang lahiriyahnya tidak beriman dengan al-Qur’an.
Kebenaran
al-Qur’an tidak cukup dengan disoraki melalui tepuk tangan yang meriah sambil
menyatakan bahwa dalam al-Qur’an hal itu telah disebutkan. Hal yang lebih
penting adalah membuktikan kebenaran al-Qur’an dengan upaya sendiri. Ketika
Neil Armstrong berhasil menginjakkan kakinya di bulan dengan sinis kita
berkomentar bahwa al-Qur’an menyatakan manusia bisa naik ke bulan. Tentu saja
komentar yang seperti ini tidak lebih kecuali hanya sebagai pelipur lara.
Al-Qur’an
adalah kitab suci yang sudah teruji kebenarannya sehingga tidak ada peluang
sedikitpun untuk meragukan pesan-pesannya. Terlebih lagi bahwa setiap pesan
al-Qur’an selalu bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Kuat dugaan bahwa salah
satu penyebab keterpurukan umat Islam dewasa ini karena tidak tahu cara kembali
kepada al-Qur’an. Andaipun ini diinginkan maka sifatnya hanya sebatas wacana
yang disahuti melalui sifat fanatisme emosional. Ketika al-Qur’an dipandang
hanya dari dimensi tunggal maka banyak pesan-pesannya yang terabaikan. Oleh
karena itu, banyak orang yang mengaku beriman dengan al-Qur’an tapi realitasnya
menginjak pesan-pesan al-Qur’an.
Urgensi
kembali kepada al-Qur’an karena pemahaman keagamaan kita telah tercerabut dari
dasarnya yang asli yaitu al-Qur’an. Walaupun ada upaya untuk kembali kepada
al-Qur’an tapi upaya dimaksud hanya bersifat simbol. Di antara kita banyak yang
punya hobbi mengkoleksi kitab-kitab suci al-Qur’an di dalam lemarinya. Padahal
yang lebih penting lagi adalah mengkoleksi isi dan pesan-pesan al-Qur’an di
dalam hati.
Pengelola
pesantren selalu merasa puas jika setiap tahun mengeluarkan alumni yang dapat
menghafal al-Qur’an. Padahal yang lebih penting lagi adalah apakah alumninya
mengerti makna ayat-ayat yang dihafalnya. Kembali kepada al-Qur’an berarti
menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam setiap kehidupan. Dengan kata lain,
menjadikan al-Qur’an sebagai landasan untuk berpikir, berbuat dan bertindak. Jika
kita mengembalikan segala persoalan kehidupan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an
maka dapat dipastikan kehidupan kita akan maju. Hal ini disebabkan bahwa
ayat-ayat al-Qur’an memberikan dorongan supaya hidup maju.
Berdasarkan
uraian di atas maka upaya yang paling efektif mendorong umat Islam untuk maju
ialah kembali kepada al-Qur’an. Dalam pengertian bahwa semua pesan al-Qur’an
dijewantahkan dalam segala lini kehidupan.
Oleh: Ust. Achyar Zein