Delapan tahun lalu kurang lebih masih membekas di ingatan ku, pernah mencoba menghidupkan ghirah berpantun sebagai ejawantah dari men-tradisikan pantun itu sendiri. Memang sih awalnya cuma iseng, tetapi cukup banyak respon netizen yang datang dari nge-like hingga komentar, isinya membalas pantun yang ku pos sejatinya adalah bait lagu bijak bestari dari Diva negeri seberang – Malaysia, Dato’ Siti Nurhaliza. Aku tak mau memperpanjang kalam flash back keceriaan 8 tahun lalu, pembaca bisa menelusurinya di link ini http://azwarammar.blogspot.com/2013/06/bersuka-ria-lewat-berbalas-pantun.html kalo rajin dan penasaran. Hihihi.
Nah, cerita kali
ini bukan aku yang memulai berpantun, hanya sekadar memantik semangat berpantun
lewat komentar ku pada sebuah status pesbuk seseorang yang amat akrab dan tak
asing lagi di beranda FB ku, yakni pak A Hafeez Harahap, bunyi pantun yang beliau
awali seperti ini:
Tanjak
dipakai warnanya biru
Songket
diserta gantikan pelekat
Kenakan
tanjak tak harus melayu
Pertanda
kita teguhkan istiadat
Aku pun masuk mengomentari:
Gendang merentak
mengalun mendayu
Rebana dipukul kaki
menderap
Ku sangka apak Melayu
Rupanya bermarga
Harahap
Yes, aku berhasil memantik semangat itu, dan pak Hafiz pun membalasnya:
Bedug ditabuh kiblat
dihadap
Masuk ke surau kasut
dilepas
Betul adanya patik Harahap
Tak macam Ongah
kenakan tengkulok belumlah pas.
Sebagai seorang berdarah Melayu, pipi ku memerah bertanda malu ketika pantun yang dibalas berisi sindiran namun jenaka, lalu aku pun membalas dengan kata “maaf” lewat berpantun:
Makanan Lemang enak
dirasa
Ditaruh ibu di atas
nampan
Tengkuluk dipakai
Memang belum pas patik rasa
Maka itu, Khilaf dan salah sudi dimaafkan
Pak Hafiz pun dengan semangatnya membalas namun berisi nasehat:
Lemang disantap dengan
serikaya.
Sajian emak di hari
raya.
Maaf dari ongah patik
terima.
Saling memafkan itu
petuah agama.
Aku pun otomatis berterima kasih akan kemaklumannya atas kekhilafan ku memakai tanjak:
Seduh kopi di malam
hari
Remah roti terserak di
nampan
Teduh hati maaf t'lah
didapati
Terima kasih patik haturkan
Dari isi pantunnya sepertinya pak Hafiz mau menutup dan mengakhiri:
Kopi Sidikalang telah
dibeli.
Diracik oleh tangan Barista.
Karena maaf telah
saling diminta dan diberi.
Tuntaslah sudah
rangkaian pantun kita.
Aku pun membalas pantunnya lagi:
Sapi melenguh harimau
mencabar
Itik berenang belibis
terkapar
Menunggu beberapa saat
dengan sabar
Patik lihat seseorang sedang menulis komentar
Seharusnya aku pun harus mengakhiri, karena ku balas bukan dengan penutup, maka beliau masih menyempatkan membalasnya:
Peminta datang muka
memelas.
Tangan tengadah bibir
bergetar.
Patik tengok makin
cepat bisa membalas.
Itulah buah dari usaha
dan sabar.
Sifatnya pantun adalah balas membalas, maka tetap aja ku balas, HAHAHA:
Tenda terisi para
tetamu undangan
Gerak santun menyalami
tangan
Tanda literasi
diimplementasi dg kesungguhan
Membalas pantun sambil menunggu pesanan
Kok ujung pantun ku menunggu pesanan? Ya, karena sewaktu proses balas membalas pantun di dunia maya, kami disibukkan dengan aktivitas masing-masing di dunia nyata, pak Hafiz terlihat ku dari seberang jalan memang sedang memesan sesuatu di kios kecil saat aku sedang berkendara bersama anak istri sepulang dari salah satu minimarket. Tunggu dan menunggu tak pula pantun ku bak kata orang “gayung bersambut”, masuk pula komenan dari seseorang masih kerabat dekat, tapi bukan pantun malah ia mengirim bait lagu yang tak asing bagi warga Sumut:
Ondak kalaut Angin pun koncang
Pogi Kabarat Ditokan Tunggaro
Pogi Katimur ditokan Barat Dayo
Balek karumah Tak ado balanjo
Ditengok Sangik Ikan tinggal tulangnyo
Singkap pariuk Nasik tinggal koraknyo
Mungkin itulah akhir dari pantun kami, ditutup oleh lagu, hahahaha, ok, ku ceritakan lagi nanti bila ada jilid 3 nya, SELAMAT MENIKMATI KEJENAKAAN PANTUN KAMI..