Sebenarnya aku tak mau menceritakan hal sepertinya sepele ini, tapi aku pengen tahu apa kira-kira tanggapan teman-teman setelah ku ceritakan, tanggapan bisa dari sudut pandang hukum Islam atau kacamata sufistik.
Kebiasaan hari libur,
aku bersama istri dan kedua anak ku bermalas-malasan di kamar hingga terasa
perut lapar, barulah keluar, masak, dan membuka pintu dapur. Entah kenapa leher
ku spontan tergerak menengadahkan kepala ku ke arah pohon nangka sebatang
warisan penghuni rumah sebelum kami. Aku setengah terkejut dari 12 buah yang
sudah ku bungkusi goni - supaya nangkanya pas mateng cantik dan semanis madu -
"raib" 8 goni dengan spesifikasi 6 goni sudah besar hanya menunggu
sekitar 2 minggu lagi matengnya atau nangka muda yang sudah bisa dijadikan
sayur gori, dan 2 goninya barulah sebesar dua kepalan tangan orang dewasa,
tersisa 4 goni lagi yang baru sebesar dua kepalan tangan orang dewasa.
Kecewa, sedih, gondok,
kesal, itu pasti, manusiawi. Karena apa, aku sengaja merawat buah-buah nangka
itu sebaik mungkin agar bisa ku sedekahkan ke tetangga, kerabat, dan
orang-orang lainnya, sudah ku tandai pun satu persatu, bila mateng akan ku
sedekahkan, bahkan untuk mesjid di hari jumat. Namun, apalah daya,
nangka itu kini sudah raib, entah siapa yang mengambilnya, karena ku lihat
bekas tangkai yang dipotong rapi. Istri ku menduga orang yang mengambilnya
berinisial "R" karena diketahui warga sini ia emang suka mengambili
hasil pohon warga tanpa sepengetahuan empunya, lalu dijual entah kemana, emang
kadang pernah ku lihat ia bawa daun ubi dan pisang, entah dipinta entah
diambilnya saja aku tak tahu, tetapi riwayat "ngutil"nya itu sudah
dimaklumi warga sini sebab pengaruh obat terlarang ia seperti orang yang
setengah waras.
Baik waras atau pun
tidak, yang pasti jadi pelajaran bagi ku, seraya aku meminta kepada Tuhan di
hari yang berkah ini, " Ya Rabb, ikhlaskan lah hati ini, bila telah
ikhlas, hitunglah menjadi sedekah di hari ini, āmīn". Memang
secara status, bukan utuh pohon ku, bukan aku yang menanamnya, hanya warisan
dari penghuni lama, tetapi yang ku kesalkan buah-buah itu diambil oleh orang
tak tepat, bukan dengan jalan sedekah.
Aku jadi teringat kisah
di dalam buku "Tadzkiratul Auliya" karangan Syeikh Fariduddin Attar
bahwa diceritakan pernah suatu malam rumah seorang hamba Allah - salah seorang
sufi yang aku lupa namanya - di masuki maling, sang sufi tahu bahwa maling itu
sedang celingukan ke sana kemari di dalam rumah mencari barang berharga dan
akhirnya ketemu nampan tembaga - karena memang rumah sang sufi tersebut tidak
ada barang yang berharga selain nampan itu. Sadar si maling bahwa sang empunya
rumah tahu dengan aksinya dan membiarkannya, lalu maling menjadi bingung seraya
bertanya, "kenapa tuan tidak mencegah aksi ku?", dengan entengnya
sang sufi menjawab, "mungkin tuan lebih membutuhkannya dari pada aku, maka
ambil lah yang lain, kemudian keluar dan tutup pintu, karena aku mau berurusan
dengan Tuhan ku sekarang". Mendengar itu, si maling pun jatuh tersungkur,
menangisi aksinya, lalu akhirnya menjadi murid sang sufi tersebut.
Salam, menuju bulan penuh berkah.