Jumat, 19 Oktober 2012

Tradisi Upa- Upa di Kalangan Masyarakat Panyabungan


A.    Pendahuluan
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berbuat kerusakan”.(QS. Al- Qashash: 77).
            Terbentuknya tradisi menurut Bronislaw Malinoski adalah karena manusia dihadapi dengan persoalan yang meminta pemecahan serta penyelesaian. Tradisi itu pula terlahir dikarenakan timbulnya ide dan tujuan bersama dari suatu masyarakat dalam penyelesaian permasalahan yang mereka hadapi. Dari adanya ide dan tujuan bersama maka terlaksanalah suatu kegiatan dan hal itu mereka lakukan secara kontiniu serta turun temurun. Dari proses tersebut maka terbentuklah suatu tradisi.
            Sedangkan tradisi menurut De Haan seorang ahli antropologi adalah seluruh tindakan yang berasal dari hasrat, gairah yang tinggi dan murni yang berada di atas tujuan dan kepentingan bersama dalam hubungan bermasyarakat, misalnya musik, puisi, etik, agama, ilmu, filsafat dan lainnya.[1]
            Kaitannya dengan tradisi adalah Upah- Upah merupakan bentuk tradisi semacam berdoa di saat ada kegiatan yang berbau normatif seperti pernikahan, selamatan, naik haji, khatam Al- Qur’an, wisuda dan lainnya. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama yakni dari nenek moyang mereka dahulu yang hingga sekarang masih dipraktikkan oleh masyarakat Desa Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.
            Maka disini penulis mencoba berbagi sedikit cerita tentang upa- upa yang dipraktikkan oleh masyarakat Desa Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.
B.     Makna Upa- upa
Upa- upa secara bahasa adalah pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa- upa agar memperoleh kebaikan.[2]
C.    Asal Tradisi Upa- upa
Menurut hasil wawancara penulis dengan salah satu narasumber, beliau mengatakan bahwa tradisi upa- upa sudah ada sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu turun- temurun hingga sampai kepada mereka sekarang. Dahulu upa- upa dilaksanakan pada saat pengangkatan raja untuk dijadikan pemimpin atau pengangkatan pemimpin- pemimpin di bawah raja dan pemberian gelar pada bangsawan, pemuka adat, pemuka agama maupun orang- orang yang dihormati.[3]
Adapun Upa- upa yang menjadi pembahasan penulis adalah upa- upa yang dipraktikkan oleh masyarakat Desa Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal. Karena upa- upa ini menurut beberapa sumber yang penulis telusuri, selain dipraktikkan oleh mereka di praktikkan pula oleh kalangan suku Batak Rokan. Akan tetapi gaya praktiknya mungkin sedikit berbeda dengan yang mereka praktikkan. 
Namun, Upa-upa menurut suku Batak Rokan adalah semacam tradisi mendoakan untuk hal-hal yang baik, Saat ini tradisi dan budaya asli suku Batak Rokan, berada di antara budaya mayoritas Melayu dan Minangkabau, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi tradisi dan budaya asli suku Batak Rokan. Sebagian besar suku Batak Rokan menganut agama Islam. Dan pejuang muslim mereka yang terkenal adalah Tuanku Tambusai, yang bermarga Harahap. Mungkin saja beliau berasal dari Tapanuli Selatan, karena dilihat dari marganya saja marga mandailing.
Ada juga yang mengatakan bahwa upa- upa dipraktikkan pula oleh sebagian kecil suku Melayu Deli.
D.    Macam- macam Upa- upa
Ada beberapa macam upa- upa:
1.      Upa- upa
Biasanya dilakukan pada waktu pelaksanaan hajatan secara umum.
2.      Mangupa
Mangupa/ Upah- upa Margondang dilakukan pada selamatan di saat seseorang anak laki- laki dari yang punya hajat mendapatkan suatu pekerjaan.
3.      Upa- upa Tondi
Upa- upa tondi biasanya dilaksanakan bila ada seseorang dari kalangan mereka mendapat kecelakaan, upa- upa yang dimaksud di sini guna menjemput kembali semangat orang tersebut yang pudar pasca kecelakaan. Pada umumnya orang yang kecelakaan itu sering jera dan kurang mempunyai semangat hidup.
E.     Waktu dan Praktik Pelaksanaan Upa- upa
Ada beberapa waktu pelaksanaan upa- upa:
1.      Pernikahan
2.      Naik haji
3.      Selamatan
4.      Wisuda
Praktik pelaksanaan upa- upa pernikahan
            Walimahan pernikahan bagi kalangan suku mandailing di mulai dari tempat mempelai wanita. Pada hari H pernikahan, sekitar pagi sebelum kedua mempelai bersanding di pelaminan, mempelai pria beserta keluarga dianjurkan singgah ke topotan kahanggi mempelai wanita yakni rumah persinggahan sebelum ke pelaminan. Setelah itu barulah boleh kedua mempelai bersanding di pelaminan. Kemudian dari pelaminan sembari menunggu para undangan, setelah selesai, sekitar jam lima sore di adakanlah markobar yaitu pemberian nasihat oleh orang tua atau mewakili dari masing- masing mempelai. Selepas dari itu barulah beberapa waktu kemudian di musyawarahkan kapan dilaksanakan walimahannya di tempat mempelai pria.
F.     Peralatan dan Bahan- bahan
Bahan yang digunakan untuk menyusun perangkat upa- upa beragam, tergantung pada factor daerah, adat dan orang yang menyusun dan menyampaikan hajat tersebut. Kadang- kadang upa- upa yang dilaksanakan yang sama dengan maksud dan pelaksanaan upa- upa yang sama, tapi bahan yang disajikan berbeda. (Effendi et, al, 2008). Hal itu pun tergantung juga pada kesanggupan yang punya hajat.
Adapun bahan- bahannya:
·         Ayam panggang
·         Hati ayam yang dipanggang
·         Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·         Udang rebus atau goring
·         Nasi pulut kunyit
·         Sayur- mayur
·         Gulai kepala kambing
·         Bagian tubuh kambing yang dapat dimakan selain kepala
·         Gulai kepala kerbau
·         Bagian tubuh kerbau yang dapat dimakan selain kepala

G.    Tata Laksana
1.      Semua hadirin umumnya duduk membentuk sebuah lingkaran, dan yang diupa- upakan duduk ditengah dengan keadaan bersila. Biasanya upa- upa diadakan di rumah atau balai- balai.
2.      Bahan upa- upa yang telah dipersiapkan diletakkan di depan orang yang akan di upa- upa.
3.      Pembukaan oleh protokol
4.      Berikutnya adalah acara inti, yang punya hajat mengupa- upakan orang yang di upa- upa dengan cara membacakan kalimat upa- upa, biasanya kalimat tersebut berupa do’a kebaikan dan keselamatan terhadap yang di upa- upakan, menghadapkan bahan upa- upa berupa makanan kepada orang yang di upa- upa.
H.    Aspek Nilai
1.      Nilai nasihat
2.      Nilai do’a
3.      Mempererat silaturrahim
4.      Memupuk rasa syukur
5.      Pengembalian dan elaborasi spirit

I.       Kesimpulan
Upa- upa merupakan salah satu adat masyarakat Desa Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal. Sejatinya upacara adat upa- upa ini adalah hajat suatu keluarga yang ingin disampaikan dengan memberikan do’a kepada objek yang di upa- upakan melalui dengan cara ­upa- upa. Selain itu pula untuk menjemput kembali semangat orang yang di upa- upa.

REFERENCE:
Book:
Ø  Al- Farabi, Mohammad. 2010. Diktat Metodologi Studi Islam. Medan
Ø  Al- Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang
Ø  Simuh, Prof. Dr. 2001. Islam dan Hegemoni. Depag RI
Wawancara:
Ø  Kutipan wawancara dari saudari Nurul Muthma’innah, sem I/ BKI IV, IAIN- SU, asal Panyabungan- Mandailing
Ø  Kutipan wawancara dari saudara Mukhlis A.P Hasibuan, sem IX/ MIPA, USU, asal Sibuhuan- Padang Lawas
Net:

[1] Prof. Dr. Simuh, Islam dan Hegemoni, Depag RI, h. 28
[2] Kutipan wawancara dari saudari Nurul Muthma’innah, IAIN- SU, sem I/ BKI IV, asal Panyabungan- Mandailing
[3] Kutipan wawancara dari saudara Mukhlis Adi P. Hasibuan, USU, sem IX/ MIPA, asal Sibuhuan- Padang Lawas
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar