Kamis, 11 Oktober 2012

Budaya Tahlilan


A. Pendahuluan

”…Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa ang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.(QS. Al- Hasyr: 7).

Terbentuknya kebudayaan menurut Bronislaw Malinoski adalah karena manusia dihadapi dengan persoalan yang meminta pemecahan serta penyelesaian. Kebudayaan itu pula terlahir dikarenakan timbulnya ide dan tujuan bersama dari suatu masyarakat dalam penyelesaian permasalahan yang mereka hadapi. Dari adanya ide dan tujuan bersama maka terlaksanalah suatu kegiatan dan hal itu mereka lakukan secara kontiniu serta turun temurun. Dari proses tersebut maka terbentuklah suatu kebudayaan.

Dalam hal ini budaya yang ingin dibahas adalah budaya selamatan setelah hari kematian seseorang dengan tahlilan dan walimahan baik dalam 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari. Budaya ini adalah salah satu budaya masyarakat Nahdhiyyin di Indonesia yang sangat diingkari oleh kaum Wahhabi dan yang sefaham dengannya serta dituduh sebagai budaya bid’ah dan sesat. Berbagai buku yang bermuatan kritik dan hinaan terhadap budaya tersebut banyak ditulis oleh orang-orang menisbatkan dirinya penganut faham salaf atau Wahhabi. Mereka juga mengatakan dan memberi bukti tuduhannya bahwa budaya tersebut adalah warisan budaya agama Hindu, terbukti dengan diadakannya kongres yang dilakukan oleh petinggi-petinggi umat Hindu se-Asia pada tahun 2006 di Lumajang, Jawa Timur. Sedangkan sejarah awalnya selamatan kematian tersebut ulama’ berbeda pendapat.

B. Makna Tahlilan

Telah kita maklumi bersama, selamatan pada tahlilan merupakan upacara ritual (seremonial) memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah seorang atau sebagian dari anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama- sama, setelah proses penguburan selesai dilakukan, seluruh keluarga, handai taulan, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit hendak menyelenggarakan acara pembacaan beberapa ayat Al- Qur’an, dzikir, berikut doa- doa yang ditujukan untuk mayit di “alam sana”. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang- ulang (ratusan kali), maka acara tersebut disebut dengan istilah “tahlilan”.

Pada saat itu pula, keluarga mayit menjadi disibukkan dengan menjamu para pentakziyah. Biasanya hari pertama dan kedua itu hanya menghidangkan air putih atau air teh, dan dihari ketiga, tujuh, empat puluh, seratus, pihak keluarga mayit menghidangkan pula berupa makanan- makanan

Model hidangan yang disajikan di setiap acara biasanya selalu variatif, tergantung adat yang biasa berjalan ditempat tersebut dan tergantung kesanggupan pihak keluarga mayit tersebut. Namun pada dasarnya, menu hidangan tersebut “lebih dari sekedarnya”, bahkan cenderung tidak berbeda dengan menu hidangan yang biasa disajikan pada acara- acara lainnya yang berbau “kemeriahan”. Sehingga secara sepintas acara tersebut layaknya sebuah pesta kecil- kecilan belaka. Bahkan tidak jarang (mungkin tidak disadari?) dengan sendirinya muncul senda gurau dan gelak tawa di dalam acara tersebut. Lebih bahayanya lagi makanan yang dihidangkan tersebut secara tak sadar menjadikan pihak keluarga mayit merasa riya’ karena mungkin harganya lumayan dan rasanya yang enak serta dari pihak pentakziyah merasa kagum, memang demikianlah kenyataannya.

C. Aspek Historis Budaya Selamatan Pada Tahlilan

Jauh sekali sebelum datangnya Islam dimasa nabi Muhammad SAW, ritual selamatan kematian sudah ada dan pernah dilakukan oleh suatu ajaran penyembahan yang diperkirakan muncul sekitar tahun 5000 SM. Mereka merealisasikan bentuk kedukaan atas meninggalnya salah satu keluarga maupun kerabat melalui ritual upacara berupa nyanyian, makanan dan berdoa kepada roh nenek moyang mereka, kekuatan alam yang dianggap mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi terhadap sendi kehidupan mereka.(Mahmud Yunus: 1973).

Hal itu mereka lakukan dengan tata urutan waktu sehari kematian, tiga hari, tujuh hari, sembilan hari, lima belas hari, empat puluh hari, seratus hari, setahun dan tiga tahun atau seribu hari kematian. Praktik budaya ini juga berlangsung lama hingga diikuti oleh agama- agama yang lain.[1]

Dimasa nabi SAW pula selamatan kematian pada tahlilan pernah dipraktikkan oleh salah seorang masyarakat dikala itu yang terdapat pada hadits dalam Sunan Abu Dawud hadits nomor 2894 dituliskan:

Yang artinya: “Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’’.[2]

Dari melihat hadits di atas telah tampak bahwa sebelum budaya selamatan pada tahlilan ada dikalangan masyarakat Indonesia, suatu ajaran penyembahan tahun 5000 SM dan salah seorang masyarakat pada masa nabi telah lebih dulu mempraktikkannya.

Sedangkan di Indonesia selamatan kematian juga pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa. Akan tetapi cara dan gaya praktiknya sangat jauh dari nilai- nilai kebaikan. Di saat keluarga yang ditinggalkan sedang berduka, di saat itu pula mereka isi waktu jaga malam dengan bermain judi dan mabuk- mabukan. Maklum saja karena dimasa itu belum ada pencerahan islam dari para wali. Setelah masuknya pencerahan syaria’at Islam maka oleh Sunan Kalijaga merobah nilai- nilai keburukan tersebut menjadi nilai- nilai kebaikan berupa membaca tahlil, tasbih, takbir, tahmid dan bacaan ayat- ayat suci Al- Qur’an lainnya.

Di dalam perkembangan selanjutnya, acara tersebut tidak hanya berhenti di Jawa saja tetapi terus menyebar ke berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sumbawa, Sulawesi Selatan dan daerah lainnya. Meskipun bisa dikatakan terdapat sinkretisasi antara ajaran agama Hindu, Budha serta Islam, namun pada tahlilan nilai- nilai keislamnnya masih jauh lebih menonjol, dan pembaurannya pun relative masih dapat diidentifikasi, yaitu pada gaya dan bentuk ritualnya.

D. Antara Ta’ziyah dan Tahlilan

Pada dasarnya anjuran Nabi SAW kepada umat muslim terhadap pihak keluarga mayit adalah bertakziyah, berdasarkan hadits Nabi SAW:

Yang artinya: ”Tidak ada seorang mukmin pun yang bertakziyah kepada saudaranya yang terkena musibah, kecuali Allah SWT akan memakaikan padanya pakaian- pakaian kemuliaan pada hari kiamat”. (HR. Ibnu Majah no. 1601 dengan sanad yang baik).[4]

Di dalam bertakziyah, selain dianjurkan mengingatkan agar bersabar dan juga menghibur keluarga mayit, pentakziyah dianggap cukup mengucapkan, “Semoga Allah memberimu pahala yang besar, menyempurnakan kesabaranmu dan mengampuni dosa orang yang mati meninggalkanmu”.

Kemudian orang yang ditakziyahi menjawab, “Aammiin, semoga Allah memberimu pahala, dan aku tidak melihatmu sebagai orang yang dibenci”.

Adapun tahlilan itu adalah membaca Al- Qur’an yang dianjurkan membacanya di mesjid ataupun rumah sendiri. Kemudian setelah selesai membacanya, ia memohonkan ampunan terhadap mayit dan rahmat Allah terhadap keluarga mayit, seraya bertawassul kepada Allah dengan ayat- ayat Al- Qur’an yang telah dibacanya.

Sedangkan berkumpulnya pembaca Al- Qur’an di rumah orang yang terkena musibah dengan tujuan membaca Al- Qur’an serta menghadiahkan pahala bacaan mereka untuk mayit, lalu mereka menerima bayaran dari keluarga mayit, maka perbuatan itu termasuk bid’ah munkarah yang wajib ditinggalkan, dan wajib menyeru segenap kaum muslimin supaya meninggalkannya dan menjauhinya. Karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Salafus Shalih dan para generasi yang memiliki keutamaan. Sedangkan sesuatu yang tidak menjadi ketentuan agama pada generasi pertama dari umat Islam, niscaya ia pun tidak menjadi ketentuan agama pada generasi terakhirnya apa pun alasannya dan dalam keadaan bagaimana pun.[5]

E. Perspektif Ulama’ Tentang Tahlilan

Di dalam Qa’idah Fikh: “Al- ashlu fil asyaa’ al- ibahah” (hukum asal segala sesuatu itu boleh). (Abdul Wahab Khalaf: 2004). Hukum asal segala sesuatu itu boleh, tetapi hal- hal yang dapat menjadikan sesuatu itu mudharat (menyusahkan) yang merubahnya menjadi tidak boleh. Kaitannya dengan tahlilan, pandangan Ulama’ ahli fikih terpetakan ke dalam dua kubu pendapat, yang satu sama lain bertentangan, yaitu pendapat ulama’ yang menolak/ melarangnya versus pendapat ulama’ yang menerima dan memperbolehkannya. Kedua kubu masing- masing memiliki alas argument ‘aqly (logika) dan argumen naqly (al- hadits).

Pada dasarnya, argument ‘aqly maupun argument naqly, keduanya memiliki akar pemberangkatan yang sama, yaitu hendak menghilangkan atau menghindari pembebanan terhadap “kelapangan” hukum asal manusia di dalam agama Islam. Sesuai dengan pesan Al- Qur’an di surat Al- Baqarah ayat 185:

Yang artinya: “..Allah Menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian semua”.

Serta penegasannya di hadits:

Yang artinya: “Sesungguhnya agama Islam ini mudah”.[6]

1. Argumen aqly dan argument naqly yang menolak/ tidak membolehkan:

Menurut argumen aqly, selamatan pada tahlilan harus ditolak dan tidak boleh dilaksanakan karena:
Pertama, di dalamnya terdapat unsure memberatkan kepada pihak keluarga mayit.
Kedua, mengandung akses negatif.[7] (lihat hal.2 alinea ke 2).

Adapun argument naqly yang menolak/ melarang selamatan pada tahlilan didasarkan pada hadits yang diterima dari sahabat Jarir bn Abdullah al- Bajaly, kemudian dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah, yaitu:

Yang artinya: ”Kami (para sahabat)menanggap kegiatan berkumpul dirumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari nihayah (meratapi mayit)”.


2. Argumen aqly dan argument naqly yang menerima/ membolehkan:

Argumen aqly yang mereka gunakan berdasarkan istihsan, menurut mereka di dalam pelaksanaan tersebut setidaknya terdapat:

Pertama, Bacaan ayat- ayat al- Qur’an, dzikir- dzikir, dan do’a- do’a.
Kedua, Nilai- nilai shadaqah melalui pembagian makanan.
Ketiga, Silaturrahim.
Adapun argumen naqly terdapat pada hadits dalam sunan Abu Dawud:

Yang artinya: “Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’’

1. Kubu ulama’ yang menolak/ melarang:

a. Ulama’ Salaf yang meliputi: Imam yang 4 mazhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hambali dan Imam Syafi’i).
b. Ulama’ Kontemporer yang meliputi: Ali Mahfuzh, Dr. Shalih bin Fauzan al- Fauzan dan Wahbah Zuhaily.
c. Ulama’ Indonesia yang eksistensinya diakui oleh berbagai kalangan ulama’ di seluruh dunia, mereka adalah: al- Nawawy al- Bantany (Banten), Nur al- Dien al- Raniri (Aceh) dan Muhammad Arsyad al- Banjari (Banjar: Jawa Barat)

2. Kubu ulama’ yang menerima/ memperbolehkan:

Ada 2 ulama’ yang menerima/ memperbolehkannya yakni: Ahmad bin Isma’il al- Thahthawy dan Ahmad bin Ghunaim bin Salim al- Nafrawy.

F. Kesimpulan

Perbedaan- perbedaan di atas jangan membuat kita terlalu membahas dan mengangkatnya ke permukaan, membuat kita terus berselisih berkepanjangan, merasa yang kita ketahui itu lebih benar, kebenaran hakiki hanya milik Allah Yang Maha Haq. Jangan karena perselisihan paham pula membuat gerak kita terhenti untuk beramal, karena perbedaan itu fitrahnya manusia, walau kita mengamalkan hal yang masih diragukan keshahihannya apakah itu benar adanya dari Nabi SAW atau bukan darinya, yang penting hal yang diperbuat itu tidak berbau maksiat dan lari dari sisi positif serta nilai- nilai kebaikan. Seperti yang dibahas di atas, para ulama’ kita berbeda pendapat disebabkan pengetahuan, guru dan sumber yang diperoleh berbeda pula. Falyafham!.

REFERENCE:

Ø Abu Dawud Al- Sajastany, Sulaiman bin Al- Asyats. TT. Sunan Aby Dawud. Beirut: Dar al- Fikr.
Ø Al- Bukhary, Muhammad Isma’il Abu Abdullah. 1986. Shahih Bukhary. Beirut: Dar Ibn Katsier.
Ø Al- Farabi, Mohammad. 2010. Diktat Metodologi Studi Islam. Medan
Ø Al- Jaza’iry, Abu Bakar. 1998. Minhajul Muslim. Madinah: Maktabatul ‘Ulum wal Hikam
Ø Al- Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang
Ø Khalaf, Abdul Wahab. 2004. ‘Ilmu Ushul Fiqh. Sangkapura: Al- Haromain
Ø Yuniardi, Harry. 2008. Santri NU Menggugat Tahlilan. Bandung: Mujahid Press
Ø Yunus, Mahmud. 1973. Adyan. Jakarta: CV. Sa’diyah Putra.

[1] Harry Yuniardi, Santri NU Menggugat Tahlilan, h.15
[2] Syaikh Ismail berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih
[3] Abu Bakar Al- Jaza’iry, Minhajul Muslim, h. 420.
[4] Abu Bakar Al- Jaza’iry, Minhajul Muslim, h. 423
[5] Muhammad Isma’il Abu Abdullah al- Bukhary, Shahih Bukhary, jld. 1, h. 23.
[6] Harry Yuniardi, Santri NU Menggugat Tahlilan, h.18
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar