A. Pendahuluan
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan)duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang
berbuat kerusakan”.(QS. Al- Qashash: 77).
Terbentuknya
tradisi menurut Bronislaw Malinoski adalah karena manusia dihadapi dengan
persoalan yang meminta pemecahan serta penyelesaian. Tradisi itu pula terlahir
dikarenakan timbulnya ide dan tujuan bersama dari suatu masyarakat dalam
penyelesaian permasalahan yang mereka hadapi. Dari adanya ide dan tujuan
bersama maka terlaksanalah suatu kegiatan dan hal itu mereka lakukan secara
kontiniu serta turun temurun. Dari proses tersebut maka terbentuklah suatu
tradisi.
Sedangkan tradisi menurut De Haan
seorang ahli antropologi adalah seluruh tindakan yang berasal dari hasrat,
gairah yang tinggi dan murni yang berada di atas tujuan dan kepentingan bersama
dalam hubungan bermasyarakat, misalnya musik, puisi, etik, agama, ilmu, filsafat
dan lainnya.[1]
Kaitannya dengan tradisi adalah Upah-
Upah merupakan bentuk tradisi semacam berdoa di saat ada kegiatan yang berbau
normatif seperti pernikahan, selamatan, naik haji, khatam Al- Qur’an, wisuda
dan lainnya. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama yakni dari nenek moyang
mereka dahulu yang hingga sekarang masih dipraktikkan oleh masyarakat Desa
Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.
Maka disini penulis mencoba berbagi
sedikit cerita tentang upa- upa yang dipraktikkan oleh masyarakat Desa Mompang
Julu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.
B.
Makna
Upa- upa
Upa- upa
secara bahasa adalah pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual
yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa- upa agar memperoleh kebaikan.[2]
C.
Asal
Tradisi Upa- upa
Menurut
hasil wawancara penulis dengan salah satu narasumber, beliau mengatakan bahwa tradisi
upa- upa sudah ada sejak lama dari
nenek moyang mereka dahulu turun- temurun hingga sampai kepada mereka sekarang.
Dahulu upa- upa dilaksanakan pada
saat pengangkatan raja untuk dijadikan pemimpin atau pengangkatan pemimpin-
pemimpin di bawah raja dan pemberian gelar pada bangsawan, pemuka adat, pemuka
agama maupun orang- orang yang dihormati.[3]
Adapun
Upa- upa yang menjadi pembahasan
penulis adalah upa- upa yang
dipraktikkan oleh masyarakat Desa Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan,
Kabupaten Mandailing Natal. Karena upa-
upa ini menurut beberapa sumber yang penulis telusuri, selain dipraktikkan
oleh mereka di praktikkan pula oleh kalangan suku Batak Rokan. Akan tetapi gaya
praktiknya mungkin sedikit berbeda dengan yang mereka praktikkan.
Namun,
Upa-upa menurut suku Batak Rokan
adalah semacam tradisi mendoakan untuk hal-hal yang baik, Saat ini tradisi dan
budaya asli suku Batak Rokan, berada di antara budaya mayoritas Melayu dan
Minangkabau, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi tradisi dan budaya
asli suku Batak Rokan. Sebagian besar suku Batak Rokan menganut agama Islam.
Dan pejuang muslim mereka yang terkenal adalah Tuanku Tambusai, yang bermarga
Harahap. Mungkin saja beliau berasal dari Tapanuli Selatan, karena dilihat dari
marganya saja marga mandailing.
Ada
juga yang mengatakan bahwa upa- upa
dipraktikkan pula oleh sebagian kecil suku Melayu Deli.
D.
Macam-
macam Upa- upa
Ada
beberapa macam upa- upa:
1. Upa- upa
Biasanya
dilakukan pada waktu pelaksanaan hajatan secara umum.
2. Mangupa
Mangupa/ Upah- upa
Margondang dilakukan pada selamatan di saat seseorang anak
laki- laki dari yang punya hajat mendapatkan suatu pekerjaan.
3. Upa- upa Tondi
Upa- upa tondi biasanya
dilaksanakan bila ada seseorang dari kalangan mereka mendapat kecelakaan, upa- upa yang dimaksud di sini guna
menjemput kembali semangat orang tersebut yang pudar pasca kecelakaan. Pada
umumnya orang yang kecelakaan itu sering jera dan kurang mempunyai semangat
hidup.
E.
Waktu
dan Praktik Pelaksanaan Upa- upa
Ada
beberapa waktu pelaksanaan upa- upa:
1. Pernikahan
2. Naik
haji
3. Selamatan
4. Wisuda
Praktik pelaksanaan upa- upa pernikahan
Walimahan pernikahan bagi kalangan
suku mandailing di mulai dari tempat mempelai wanita. Pada hari H pernikahan,
sekitar pagi sebelum kedua mempelai bersanding di pelaminan, mempelai pria
beserta keluarga dianjurkan singgah ke topotan
kahanggi mempelai wanita yakni rumah persinggahan sebelum ke pelaminan.
Setelah itu barulah boleh kedua mempelai bersanding di pelaminan. Kemudian dari
pelaminan sembari menunggu para undangan, setelah selesai, sekitar jam lima
sore di adakanlah markobar yaitu pemberian
nasihat oleh orang tua atau mewakili dari masing- masing mempelai. Selepas dari
itu barulah beberapa waktu kemudian di musyawarahkan kapan dilaksanakan
walimahannya di tempat mempelai pria.
F.
Peralatan
dan Bahan- bahan
Bahan
yang digunakan untuk menyusun perangkat upa-
upa beragam, tergantung pada factor daerah, adat dan orang yang menyusun
dan menyampaikan hajat tersebut. Kadang- kadang upa- upa yang dilaksanakan yang sama dengan maksud dan pelaksanaan upa- upa yang sama, tapi bahan yang
disajikan berbeda. (Effendi et, al, 2008). Hal itu pun tergantung juga pada
kesanggupan yang punya hajat.
Adapun
bahan- bahannya:
·
Ayam panggang
·
Hati ayam yang dipanggang
·
Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·
Udang rebus atau goring
·
Nasi pulut kunyit
·
Sayur- mayur
·
Gulai kepala kambing
·
Bagian tubuh kambing yang dapat dimakan
selain kepala
·
Gulai kepala kerbau
·
Bagian tubuh kerbau yang dapat dimakan
selain kepala
G.
Tata
Laksana
1. Semua
hadirin umumnya duduk membentuk sebuah lingkaran, dan yang diupa- upakan duduk
ditengah dengan keadaan bersila. Biasanya upa-
upa diadakan di rumah atau balai- balai.
2. Bahan
upa- upa yang telah dipersiapkan
diletakkan di depan orang yang akan di upa-
upa.
3. Pembukaan
oleh protokol
4. Berikutnya
adalah acara inti, yang punya hajat mengupa-
upakan orang yang di upa- upa
dengan cara membacakan kalimat upa- upa,
biasanya kalimat tersebut berupa do’a kebaikan dan keselamatan terhadap yang di
upa- upakan, menghadapkan bahan upa- upa berupa makanan kepada orang
yang di upa- upa.
H.
Aspek
Nilai
1. Nilai
nasihat
2. Nilai
do’a
3. Mempererat
silaturrahim
4. Memupuk
rasa syukur
5. Pengembalian
dan elaborasi spirit
I.
Kesimpulan
Upa- upa
merupakan salah satu adat masyarakat Desa Mompang Julu, Kecamatan Panyabungan,
Kabupaten Mandailing Natal. Sejatinya upacara adat upa- upa ini adalah hajat suatu keluarga yang ingin disampaikan
dengan memberikan do’a kepada objek yang di upa-
upakan melalui dengan cara upa- upa.
Selain itu pula untuk menjemput kembali semangat orang yang di upa- upa.
REFERENCE:
Book:
Ø Al-
Farabi, Mohammad. 2010. Diktat Metodologi
Studi Islam. Medan
Ø Al-
Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang
Ø Simuh,
Prof. Dr. 2001. Islam dan Hegemoni.
Depag RI
Wawancara:
Ø Kutipan
wawancara dari saudari Nurul Muthma’innah, sem I/ BKI IV, IAIN- SU, asal Panyabungan-
Mandailing
Ø Kutipan
wawancara dari saudara Mukhlis A.P Hasibuan, sem IX/ MIPA, USU, asal Sibuhuan-
Padang Lawas
Net: