A.
Mengapa Manusia Perlu Beragama?
Seandainya manusia tidak beragama, apa yang
akan terjadi? Tanpa agama, apakah manusia dapat mengetahui norma-norma
universal? Tanpa agama. Dapatkah manusia mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
di alam supra natural? Menurut kodratnya, manusia dalam hidupnya
selalu mengakui adanya kekuatan yang maha dahsyat diluar dirinya. Manusia
selalu merasa di dalam dirinya terdapat suatu kekuatan yang tidak mungkin di
tandingi oleh kekuatan manusia dan alam sekitarnya. Pengakuan seperti ini biasa
di sebut dengan beragama.1
Agama dapat di katagorikan dalam dua macam,
yaitu agama Samawi dan agama Ardhi. Agama Islam, Kristen, dan Yahudi adalah
agama-agama samawi, yaitu agama yang di yakini sebagai agama yang di wahyukan
Tuhan kepada Nabi atau Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya. Dengan kata
lain, agama-agama itu adalah agama seperti, Hindu, Budha, dan Konghucu adalah agama yang tidak diturunkan oleh
Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya, tapi
agama-agama itu adalah ciptaan manusia. Agama –agama yang di sebutkan terakhir
itu adalah contoh dari agama bukan samawi, atau agama ardhi.
Agama samawi diyakini sebagai agama yang di
wahyukan Tuhan yang secara metaforis
dapat dikatakan diturunkan dari langit. Oleh karena itu di sebut agama samawi. Samawi barasal dari kata As- sama’ yang berarti langit. Sedangkan agama ardhi, secara
generik berarti bumi. Ardhi adalah kata dalam bahasa arab yang berarti bumi. Agama ardhi adalah
agama yang tidak diturunkkan dari langit, tapi timbul dari pemikiran manusia
dan hasil perenungan yang mendalam. Karena salah satu unsur agama adalah kitab suci, maka agama samawi
mempunyai kitab suci yang di sebut kitab samawi pula.
Kitab-kitab suci seperti Al-Qur’an, Injil,
Taurat, dan Zabur adalah kitab-kitab samawi, karena di wahyukan Tuhan kepada para nabi dan rasul menyebarkan kitab-kitab ini.
Sedangkan kitab-kitab suci seperti Weda dalam agama Hindu, Tripitaka dalam
agama Budha, adalah tidak kitab Tuhan kepada para pembawa dan penyebar
agama-agama itu, tetapi di buat atau dikarang oleh pendiri-pendiri agama itu.2
Manusia
beragama karena memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan
hidupnya di dunia dan akhirat. Dengan agama, manusia juga mendapatkn
nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan
akalnya semata.
B. Mengapa Manusia Perlu Bernegara?
Bayangkan bila suatu masyarakat tidak mempunyai negara,
apa yang akan terjadi? Bagaimana jika tidak ada wilayah, tidak ada
pemerintahan, tidak ada kepala negara? Apakah dalam kondisi seperti itu, masyarakat tadi dapat hidup dengan
teratur? Dapatkah mereka menjalankan aturan bersama? Dapatkah mereka
menjalankan aktivitas dengan tertib?
Pada mulanya, hidup sendiri-sendiri.
Selanjutnya, karena tidak dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Oleh karena itu, mereka kemudian
bergabung dengan manusia-manusia yang lain. Karena jumah mereka semakin banyak,
maka diperlukan pemimpin dan aturan-aturan yang disepakati.3
Mereka selanjutnya juga memerlukan
fasiltas-fasilitas untuk memudahkan jalannya kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, mereka
membuat aturan-aturan untuk mereka sepakati bersama dalam kehidupan. Mereka juga membagi tugas setiap orang atau agar setiap kelompok agar semua
urusan dapat di tangani tanpa ada penumpukan tugas pada seseorang saja.
Perkembangan selanjutnya, masyarakat memerlukan seseorang yang di
segani, yang mempunyai otoritas untuk
melakukan tindakan tertentu bila terjadi sesuatu atas mereka. Orang seperti ini
diperlukan sebagi penengah bila terjadi konflik di antara mereka. Dia pula
selanjutnya yang mejadi pemisah sekaligus hakim dalam persoalan-persoalan yang
menyangkut orang banyak. Orang yang berwatak seperti inilah yang kemudian
mereka angkat menjadi pemimpin atau raja atau kepala negara.
Menurut Munawir Sjadzali, teori seperti diatas dikemukakan oleh Ibnu Khaldun. Namun, sebelum Ibnu Khaldun
telah ada pula tokoh lain yang telah mengungkapkan teori sama, yaitu Plato. Di
samping itu, ada pula pemikir-pemikir islam sebelum Ar- Rabi’, Al- Farabi, Al- Mawardi, dan Al- Ghazali.4
Kembali kepada soal mengapa manusia perlu
bernegara, tampaknya perlu disimpulkan bahwa manusia tidak akan dapat hidup
dengan teratur tanpa adanya negara. Mereka juga tidak akan tertib dan tidak akan mampu menjamin keamanan bersama, tanpa adanya
negara. Tanpa adanya wilayah, ketertiban umum bagi masyarakat juga tidak mungkin terjamin.
C. Bagaimana Hubungan Agama dan Negara?
Terdapat kesepakatan di kalangan kaum
muslimin bahwa
eksitensi negara adalah suatu keniscayaan
berlangsungnya kehidupan bermasyarakat. Artinya, menurut Hussein Muhammad (2000: 88), negara diperlukan untuk mencapai tujuan
yang di cita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Negara dengan
otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat. Sedangkan
agama mempunyai otoritas yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hubungan antara agama dan negara menimbulkan
pendekatan yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Pada hakekatnya, negara
merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial. Oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut
merupakan sifat dasar negara pula, sehingga negara sebagai manisfestasi kodrat manusi secara horizontal
dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, negara memilki sebab- akibat langsung dengan manusia karena manusia
adalah pendiri negara itu sendiri ( Kaelani, 1999:91-93).5
Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara adalah juga makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Sebagai makhluk sosial,
manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaanya.
Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi
kepadaNya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama dan
keyakinan yang dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah
manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang
tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang menghubungkan agama dengan negara.
Berdasarkan uraian di atas, konsep hubungan negara dan agama sangat di
tentukan oleh dasar antologis manusia
masing-masing. Keyakinan manusia sangat mempengaruhi konsep hubungan negara
dalam kehidupan manusia. Berikut di uraikan dalam beberapa contoh perbedaan konsep hubungan agama dengan negara
menurut beberapa aliran atau faham:
1.
Hubungan Agama dan Negara Menurut Faham Teokrasi
Hubungan agama dan negara di dalam faham teokrasi di gambarkan sebagai dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut
faham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata dalam
kehidupan masyarakat bangsa,dan negara di lakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan negara
dengan politik, dalam faham teokrasi juga di yakini sebagai manifestasi firman
Tuhan.
Ada kasus menarik yag dapat menggambarkan
praktik kenegaraan dalam faham teokrasi seperti itu. Menurut sejarah, dalam
kasus Perang Dunia ke II, rakyat Jepang rela berperang demi kaisar mereka, karena
menurut mereka, kaisar adalah anak Tuhan. Di negara Tibert juga demikian bahwa
apa yang di sebut sebagai Dalai Lama yang di yakini sebagai penjelmaan Tuhan
dimuka bumi ini. Kedua kasus ini adalah contoh dari praktik pemerintahan dalam
faham teokrasi langsung. Menururt faham teokrasi langsung, pemerintahan di
yakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya negara di dunia ini
adalah kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula.6
Selain sistem pemerintahan teokrasi secara
lamgsung, ada pemerintah teokrasi langsung. Jika dalam pemerinta teokrsi
langsung, raja atau kepala negara memerintah sebagai jelmaan Tuhan, maka dalam
pemerintah teokrasi tidak langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri,
melainkan yang memeritah adalah raja atau kepala negara yang memiliki otoritas
atas nama Tuhan. Kepala negara atau raja di yakini memerintah atas kehendak Tuhan.
Kerajaan Belanda dapat di jadikan sebagai
contoh untuk model ini. Dalam sejarah, raja di negara Belanda dapat di yakini sebagai
mengemban tugas suci yaitu kekuasaan yang merupakan amanat suci (mission sacre)
dari Tuhan untuk memalmurkan rakyatnya. Politik seperti yang diterapkan oleh
pemerintah Belanda ketika menjaga Indonesia. Mereka meyakini bahwa raja
mendapat amanat suci dari Tuhan untuk bertindak sebagai wali dari wilayah
jajahannya itu. Dalam sejarah, politik Belanda seperti ini di sebut politik
etis (etische politik).7 Dalam pemerintah teokrasi tidak langsung,
sistem dan norma dalam agama dirumuskan dalam firman-firman Tuhan. Dengan
demikian, negara meyatu dengan agama. Agama dengan negara tidak dapat di
pisahkan. Dari apa yang dipaparkan di atas, dalam di
katakan bahwa dalam praktik kenegaraan teokrasi terdapat dua macam, yaitu
teokrasi langsung dan teokrasi tidak langsung. Karena perbedaan faham ini. Maka
praktik pemerintahan kedua jenis faham teokrasi inipun berbeda pula.
2. Hubungan Agama dan Negara Menurut Faham Sekuler.
Selain faham teokrasi, terdapat pula faham
sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan agama dan negara.
Paham sekuer memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara
sekuler, tidak ada hubungan anatara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam faham
ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan
dunia. Sedangkan agama adalah huungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini,
menurut faham sekuler, tidak dapat disatukan.8
Dalam negara sekuler, sistem dan norma-norma hukum positif dapat di
pisahkan dengan nilai-nilai dan norma-norma agama. Norma-norma dan hukum dapat
di tentukanatas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan
norma-norma agama. Meskipun memisahkan antara agama dan negara, pada lazimnya
negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang
mereka yakini, tapi negara tidak ikut campur tangan dalam urusan negara.
3. Hubungan Agama dan Negara Menurut Faham Komunisme.
Faham komunisme memandang hakikat hubungan
negara dan agama berdasarkan filosofi matearelisme dialektis dan matearelisme
historis. Faham ini menimbulkan faham atheis, yang berarti tidak bertuhan.
Faham yang di pelopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu
masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992:97-8). Menurutnya, manusia ditentukan
oleh dirinya sendiri. Agama, dalam faham ini, di anggap sebagai suatu kesadaran
diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.
Manusia adalah dunia manusia sendiri yang
kemudian menghasilkan mayarakat negara. Sedangkan agama di pandang sebagai
realisasi fantastik manusia, dan agama adalah keluhan makhluk tertindas. Oleh
karena itu agama harus di tekan, bahkan di larang. Nilai yang tertinggi dalam
negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.
4. Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam.
Dalam islam, hubungan agama menjadi
perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli.
Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak
hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.9
Masih menurut Azyumardi, ketegangan
perdebatan tentang hukum agama dan negara ini di ilhami dengan oleh hubungan
yang agak canggung dengan islam seagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam
bahasa lain, hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) di kalangan umat
islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak di atur oleh masyarakat
Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian
itu,karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya islam tidak ada
pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada
tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebaba seperti yang
dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas,
berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal
yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmiah, yang bersifat sakral dan suci.
Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon
keduniaan.
Selai hal-hal yang di sebutkan di atas, kitab
suci AL-Quran dan Hadis tampaknya jyga merupakan inspirasi yang dapat
menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebut dunya yang
berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis
antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan
oleh karangan para ahli.
Tentang hubungan agama dengan negara dalam
islam, menurut Munawwir Sjadzali (1990:235-236), ada tiga aliran yang
menanggapinya. Pertama. Aliran yang menanggapi bahwa islam adalah agama yang
paripurna, yang mencakup segala- galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena
itu agama tidak bisa dipisahkan dengan negara, dan urusan negara adalah urusan
agama, serta sebaliknya.
Aliran
kedua. Mengatakan bahwa islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena islam
tidak mengatur hidup bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi
Muhammad tidak punya misi untuk mendirikan negara.
Aliran
ketiga, berpendapat bahwa islam tidak mencakup segala-galanya. Tapi mencakup
seperangkap prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat.
Termasuk bernegara. Oleh karena itu, dalam bernegara, umat islam harus
mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang ajarkan secara garis
besar umat islam.
Sementara itu, Husein Muhammad (2000:88-94)
menyebutkan bahwa dalam islam ada dua model hubungan agama dan negara. Model
pertama, ia sebut sebagai hubungan simbiosis-mutualistik.
Hubungan integralistik dapat di artikan
sebagai hubungan teolitas, dimana agama dan negara merupakan suatu kesatuan
yang tidak dapat di pisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu (integral). Ini jiga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaliguis lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali
bahwa islam tidak mengenal pemisaham agama antara agama dan politik atau
negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi. 10
Model hubungan kedua adalah model hubungan
simbiosis mutualistik. Model huungan agama dan negara segara model ini, masih
menurut Husein Muhammad (2000:92-94), menegaskan bahwa antara agama dan negara
terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus
dijalankan dengan baik. Hal iini hanya dapat terlaksana bila ada lembaga yang
bernama negara. Sementara itu negara juga tidak dapat berjalan berdiri sendiri
tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam negara.
Ibnu Taimiyah, seorang tukoh terkenal Sunni
Salafi, bahwa agama dan negara benar-benar berkelindan. Tanpa kekuasaaan negara
yang bersifat memaksa, agam berada dalam bahaya. Sementara itu, negara tanpa
disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik (al-
Siyasah:161). Teori seperti ini juga dikemukakan oleh pemikir politik Islam
lainnya. Seperi al- Ghazali dan al- Mawardi. Dalam buku teori politiknya yang
amat terkenal, al-Mawardi (Tanpa Tahun:3) mengungkapkan bahwa” negara di bangun
untul menggantikann tugas kenabiaan dalam ragka memelihara agama dan mengatur
kehidupan dunia”. Bagi tokoh ini,
kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan harus di jadikan landasan kekuasaan negara.
Selanjutnya, Al-Ghazali (:149) dalam bukunya
Aliqtishad fiali’tiqad, mengatakan bahwa agama dengan negara adalah dua anak
kembar. Agama adalah dasar, dan penguasa/kekuasaan negara adalah penjaga.
Segala sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur, dan segala sesuatu yag
tidak memiliki penjaga akan sia-sia. Lebih lanjut Al- Ghazali menyimpulkan bahwa sultan (pemimmpin
negara/ kekuasaan) adalah keniscayaan dalam sistem agama. Sementara itu sistem
agama adalah keharusn mutlak dalam mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah maksud
para nabi diutus Tuhan. Maka adanya pemimpin negara merupakan keharusan agama
yang tidak bisa di biarkan begitu saja.
Kebijakan Politik Tentang Agama
Adakah
perbedaan antara kebijakan politik pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru tentang
agama? Apakah kebijakan pemerintah pada masa lalu itu berbeda pula dengan
kebijakan pemerintah pasca era reformasi? Jika ada perbedaan, Apakah implikasinya
terhadap kehidupan beragama di Indonesia? Pertanyaan ini tentu memerlukan
kajian yang cukup mendalam.
Di masa pemerintahan Orde Lama, Presiden
Soekarno ingin memisahkan agama dengan negara. Agama harus berdiri dengan
sendiri, dan agama tidak usah di kaitkan dengan negara. Pendapat Soekarno itu
diilhami oleh pengalaman Musthafa Kammal Ataruk di Turki dengan ajaran
sekulerisasinya. Meskipun demikian, pemerintah Soekarno, seperti yang dilihat,
bagaimanapun tetap mengurus soal-soal yang berkaitan dengan agama. Menurut
Faisal Ismail (1999:35-36) Soekarno tidak memutuskan secara radikal antara
agama dengan negara, karena agama dalam pandangan politiknya tetap mempunyai
peran dalam negara. Daalam pidatonya tentang hubungan kedua lembaga ini,
Soekarno mengatakan bahwa, menurut cita-cita islam, negara harus bersatulah
dengan agama. Negara bisa bersatu dengan agama, meskipun asa konstitusinya
memisahkan ia dari agama. Itulah yang di paparkan Soekarno (1964:,456) dalam
bukunya yang terkenal, Di bawah Bendera Revolusi.11
Di masa Orde Lama terjadi perdebatan
yang amat tajam antara Soekarno, yang menamakan dirinya sebagai kelompok
nasionalais, dan kelompok M.Natsir, yang menyebut dirinya sebagai modernis.
Kelompok Natsir berpendapat bahwa, nilai-nilai agama harus dijalankan dalam
bernegara. Negara harus menjalankan nilai-nilai agama. Negara dapat berbentuk
apa saja, tapi nilai-nilai agama harus dijalankan di dalamnya.
Penjelasan lebih lanjut tentang polemik
Soekarno dan Natsir ini di jelaskaan
oleh Moh. Mahfud (1999:55-57) sebagai berikut. Soekarno berpendirian bahwa demi
kemajuan agama dengan negara sendiri, negara dan agama harus di pisahkan.
Sedangakan Natsir berpendirian sebaliknya, bahwa agama dan negara harus menjadi
satu. Artinya agama harus di urus oleh negara, sedangkan negara di urus
berdasarkan ketentuan-ketentuan agama.
Di masa pemerintahan Orde Baru, hubungan
agama dengan negara mengalami perubahan-
perubahan dan perkembangan- perkembangan yang cukup signifikan. Pada mulanya
pemerintah menaruh kecurigaan terhadap Islam. Ini timbul menurut, Masykuri
Abdillah (1999:43-44), karena pemerintah Orde Baru mengkhawatirkan polititasi
islam dan kemampuannya menggerakkan massa., yang dalam waktu singkat dapat
melawan mereka. Ini juga di sebabkan karena kelompok militer yang mendukung
pemerintahan Orde Baru banyak berasal dari kelompok abangan dan priyayi
(aristokrat dan birokrat jawa). Pola semacam ini, menurut Abdul Azizi Thara
(1996: 240-243) di sebut hubungan sifat antagonistik.12
Dalam kata yang lebih tegas kebijakan politik
pemerintah Orde Baru terhadap Islam, adalah bersifat mendorong berbagai
aktivitas politik Islam. Demikian kesimpilan Allan Samson, seperti di kutip
Masykuri Abdilllah (1999:43-44). Dengan tema lain, dapat dikatakan bahwa
pemerintah Orde Baru lebih suka memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem
kepercayaan bagi pengikutnya, ketombang sebagai gerakan ideologi atau poliik.
Ini sama dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang di cetuskan oleh
Snuock Hurgronja, seorang Islamog Belanda yang terkenal di akhir abad ke-19.
Inilah yang oleh Bakhtiar Effendi (1998) di sebut dengan “penjinakan’ idealisme
dan aktivitas politik islam.
Kebijakan politik yang amat menyolok tentang
agama di masa pemerintahan Orde Baru adalah penetapan asas tunggal bagi parai
politik dan ORMAS. Kebijakan asas tunggal Pancasila ini, menurut Azyumardi
Azra, menandai puncak atau selesainya program de-islamisasi politik masa Orde
Baru. Maka politik islam seolah-olah telah tamat. Setidaknya secara formal,
semua PARPOL yang ada hanya mempunyai asas agama tertentu, termasuk Islam.
Kondisi seperti gambaran di atas, secara
berangsur berubah menjelang tahun 90-an. Masa inilah yang di sebut masa bulan
madu (rupprocchement) antara umat islam dan pemerintah. Di masa ini di mungkinkan
terbentuknya ICMI, Bank Muamalat, BPR Syari’ah, pelaksanaan Festival Istiqlal,
penetapan UU tentang Sistem Pendidikan Islam, UU Peradilan Agama dan lain-lain
yang mengakui eksitensi umat muslimin. Inilah yang di sebut oleh Munawwir
Sjadzali-mantan Menteri Agama RI- bahwa inspirasi umat islam justru lebih
banyak terkomodasi di saat Indonesia tidak ada partai Islam. Lebih lanjut
Munawir Sjadzali (1992:10) mengatakan bahwa kehidupaan keagamaan khususnya
sangat baik justru pada waktu tidak ada lagi partai berbenderakan Islam yang
mewakili perjuangan Islam serta penyalur eksklusif dari aspirasi umat islam.
Sebagai rangkuman apa yang di paparkan di
atas, ganbaran Syafi’ii Anwar (1995:ix-ix) dapat membantu kita memahami lebih
sistematis tentang hubungan agama negara. Format hubungan Islam dan biokrari
dalam kurun waktu 1966-1993 mengalami tiga periodisasi. Periode pertama,
periode awal Orde Baru hingga 1970-an, yang mencerminkan hubungan anatara
hegemonik antara islam dan pemerintah Orde Baru. Periode ini di tandai dengan
kuatnya negara yang secara idio-politik menguasai wacana pemikiran sosial
politik di kalangan masyarakat. Pada
periode ini timbul penolakan umat islam terhadap konsep modernisasi yang di
keluarkan pemerintah, sehingga menimbulkan ketegangan di antara ke dua lembaga ini. Inilah oleh Bakhtiar Effendi
(1998:60-61) di sebut hubungan tidak serasi antara islam dan negara.
Periode ke dua, masih menurut Syafi’i Anwar,
adalah periode 1980-an, di mana hubungan antara islam dan biokrasi bersifat
resiprokal, yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian
timbal balik serta pemahaman di antara ke dua belah pihak. Soal politik,
misalnya, di selesaikan bersama dan di harapkan dapat mempertemukan kepentingan
masing-masing. Dalam periode resiprokal ini timbul kesadaran pemerintah bahwa
islam merupakan demonisasi politik tak bisa di sampiingkan. Tindakan
memarginalkan islam adalah tindakan yang tidak menguntungkan. Jajaran birokrasi
menyadari bahwa para intelektual islam mempunyai potensi yang amat signifikan
dalam pembangunan bangsa. Ini perlu di pertemukan dengan gagasan pemerintah
Orde Baru. Pola seperti ini oleh Abdul Aziz (1996:262-264) Ddi sebut
hubungan bersifat resiprokal kritis.
Periode ke tiga adalah dekade 1990-an ,
berkat artikulasi dan peranan
cendekiawan muslim, hubungan antara islam dan Orde Baru berkembang
menjadi saling akomofdatif. Hal ini di tandai dengan semakin responsipnya
kalangan birokrasi terhadap, yang antara lain di tandai dengan lahirnya
sejjumlah keijakan yamh mengakomodasi aspirasi umt islam. Tarmizi Taher
(1998:3) mantan Menteri Agama di masa Orde Baru, menyimpulka bahwa partisipasi
pemimpin agama sangat besar dalam pembangunan Nasional, khususnya dalaam
lapangan pendidikan agama, ekonomi,
lingkungan hidup, hak asasi manusia, kesehatan, keluarga berencana dan
sebagainya. Di era, menurut Bakhtiar Efffendy (1998:332-334) ada hubungan yang
integratif antara islam dan negara. Setelah periode ketiga itu, lahir priode
reformasi, di mana hubungan agama dan negara masih sulit di tebak dan masih
terus berkembang.
Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap agama
dan negara di masa reformasi? Ini perlu diskusi lebih lanjut. Pemerintah
reformasi, yang di awalai dengam lengsernya Soeharto dan kursi kepresidenan dan
digantikan oleh BJ. Habibie, merupakan tonggok awal sejarah demokrasi dalam
arti yang luas di negara Indonesia.
Demokrasi ini tentu saja berakibat pada tebukanya simpul simpul otoritarianisme pada orde-orde sebelumnya.
Ini berdampak pula pada kebebasan berpolitik dan mengekspresikan ajaran-ajaran
agama.
Kebebasan politk, yang di tandai dengan
munculnya 48 partaai pemilu peserta PEMILU tahun 1999, di mana partai politik
bebas menentukan asasnya dan tidak lagi haru menggunakan asas Tunggal-
Pancasila, merupakan salah satu indiktor bahwa pemerinytah sudah mengurangi intervensi
kebebasan politik kepada warga negara Hal inipun masuk ke dalam sektor agama,
di mana pemerintah memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk mengatur dan
mengamalkannya. Hal tersebut tampak telihat dengan di berikan kebebasan kepada
pemeluk agama Konghucu umtuk mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan dimasa
pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meskipun hal belum di lakukan
oleh pemerintah sebelumnya, Presiden BJ Habibie.13
PENUTUP
Negara diartikan sebagai organisasi tertinggal
di antara kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup
dalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dalam konsep
islam, tidak di temukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara.
Hubungan agama dengan negara di indonesia
lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara
sekularisme dan teoraksi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan gama
dengan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala
peranannnya.Maka dari itu agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan
negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola
hubungan dengan negara di Indonesia sangat membantu apa yang sering di sebut
oleh banyak kalangan sebagai simbiotik-mutualita.
DAFTAR PUSTAKA
PUSLIT IAIN Syarif
Hidayatullah,2002, Pendidikan
Kewarganegaraan Demokrasi HAM & Masyarakat Madani , Jakarta : IAIN
Jakarta Press
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Prof. Dr. Azyumardi, MA, 2008, Pendidikan Kewargaan, Jakarta : ICCE UIN
1 PUSLIT IAIN Syarif
Hidayatullah, pendidikan kewargaan Demokrasi HAM & Masyakarat Madani, (Jakarata,
IAIN Jakarta,2008), hlm 121
3 Prof.Dr. Komaruddin
Hidayat dan Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta: ICCE UIN, 2008), hlm 101.
4 Ibid
5 Ibid
6 PUSLIT IAIN
Syarif Hidayatullah, pendidikan kewargaan Demokrasi HAM & Masyakarat
Madani, (Jakarata, IAIN Jakarta,2008), hlm 121
7 Ibid
10 PUSLIT
IAIN Syarif Hidayatullah, pendidikan kewargaan Demokrasi HAM &
Masyakarat Madani, (Jakarata, IAIN Jakarta, 2008),
hlm 121
12 Prof.Dr.
Komaruddin Hidayat dan Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA, Pendidikan Kewargaan,
(Jakarta:ICCE
UIN,2008),hlm 101
Oleh: Fadilah Tulhapipah
izin copas,
BalasHapusSilahken mas, semoga bermanfaat.
BalasHapus