Nama kecilnya adalah Muhammad Saman merupakan
putra dari Teuku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah,
putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan
dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah
Pidie, Aceh dan wafat di Benteng,
Aneuk Galong, Januari 1891, dan di makamkan di Indrapura, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.[1]
Pada
masa kecil Saman, sekolah seperti sekarang belum ada di daerahnya. Satu-satunya
tempat menuntut ilmu adalah surau. Tentu saja yang paling banyak diajarkan
diasana adalah tentang agama. Mulai dari membaca dan menghayati Al-Quran sampai
pada pendidikan agama.Tetapi dalam Al-Quran sendiri sudah terkandung berbagai
ilmu pengetahuan. Jadi, tergantung pada orang yang mempelajarinya jika tekun
dan bersungguh akan besar manfaatnya.
Mohhamad
Saman ternyata termasuk anak yang haus ilmu pengetahuan. Dia sangat giat
belajar. Siapa saja yang lebih pandai, dijadikanya guru. Dalam bergaul, dia
memilih pergaulan yang baik. Dia lebih banyak berada dalam lingkungan orang- orang
yang juga haus pengetahuan. Sejak kecil Mohhamad Saman sangat disiplin. Dia
tidak pernah membuang waktu sia-sia. Bermain hanya sekedarnya saja. Selain
di surau dan dalam pergaulan,dia juga belajar pada ibunya. Sekalipun dikenal
sebagai anak yang pandai, dia selalu menghormati orang yang lebih tua.
Budi
bahasanya baik dan luhur. Karena itu, dia juga dihormati dan disenangi dalam
pergaulan. Dalam kehidupan dia tidak mau berkhayal yang bukan-bukan. Dia tidak
pernah meminta sesuatu yang melebihi kemampuan orang tuanya. Dengan perkataan
lain, dia anak tahu diri . Sebab, dia juga menyadari bahwa gila akan kemewahan
adalah bujukan iblis. Sampai
dewasa dia masih haus akan ilmu. Dia berguru kemana-mana. Ketika usianya sudah
mencapai empat puluh tahun, dia masih berguru. Pada usia tersebut, dia berguru
di Lamkrak, di kawasan Aceh Besar.
Pelajaran
yang diterima dari ayah dan pamannya dirasanya belum cukup. Karena itulah ia
pergi belajar pada beberapa guru lain, seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu,
Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang dan Teungku Cik di Tanjung Bungong.
Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di Lamkrak. Pulang dari Lamkrak, ia
membantu pamannya mengajar di Tiro. Pengetahuannya cukup luas. Teungku Cik
Dayah Cut, pamannya, mengharapkan agar Saman kelak mampu menggantikannya
sebagai guru agama sesuai dengan tradisi keluarga ulama Tiro. Sesudah mengajar
beberapa waktu lamanya, Saman berniat menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat,
terlebih dulu dikunjunginya bekas guru-gurunya untuk memohon doa restu, yang
terakhir dikunjunginya ialah Teungku Cik di Lamkrak, tetapi ternyata guru ini
sudah meninggal dunia.[2] Ketika
ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain
itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga
ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan
imperialisme dan kolonialisme.
Sejak kecil ia sudah biasa hidup di lingkungan pesantren
dan bergaul dengan para santri. Setelah belajar ilmu agama pada beberapa ulama
terkenal di Aceh, ia menunaikan ibadah Haji dan memperdalam ilmu agama di
Mekah. Sesudah itu ia menjadi guru agama di Tiro.[3] Dibesarkan
pada saat memburuknya hubungan Aceh dengan Belanda. Pada tahun 1873 Kompeni
mulai memerangi Aceh untuk menaklukkan kerajaan tersebut dan menempatkannya di
bawah kekuasaan Belanda, pasukan pertama berhasil dipukul mundur. Panglimanya,
Mayor Jenderal JHR Kohler tewas dalam pertempuran. Sesudah itu, Kompeni mengirimkan
pasukan yang lebih besar dan kuat. Lama-kelamaan pejuang Aceh terdesak.
Daerah
Aceh Besar jatuh ke tangan Kompeni dan kekuatan Aceh mulai lemah. Pada waktu
itu, ia muncul memimpin perang dan membentuk Angkatan Perang Sabil dengan
mendapat bantuan golongan hulubalang. Sultan Aceh mempercayainya sebagai
pemimpin perang, dan perjuangan dilakukan atas dasar agama dan kebangsaan. Dalam
serangan yang dilancarkan bulan Mei 1881, benteng Belanda di Indrapura berhasil
direbut pasukannya. Kemudian jatuh pula benteng Lambaro, Ancuk Galang, dan
lain-lain. Belanda semakin terdesak, mereka bertahan saja dalam benteng di
Banda Aceh. Tetapi ke dalam benteng itu pun ia mengerahkan pasukan untuk
melakukan sabotase.
Pulau
Breuh pun mendapat serangan, dari situ ia bermaksud merebut Banda Aceh. Kompeni
jadi kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai tidak lebih dari empat
kilometer persegi. Belanda menyadari bahwa sumber semangat Aceh pada waktu itu
ialah Teungku Cik Di Tiro, karena itu Kompeni bermaksud membunuhnya. Mereka
berhasil membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama yang diangkat menjadi
Kepala Sagi. Kemudian, orang itu menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke
dalam makanan dan diberikannya kepada Cik di Tiro. Akibatnya Cik di Tiro jatuh
sakit dan meninggal dunia di benteng Ancuk Galang pada bulan Januari 1891. Di
Jakarta namanya diabadikan sebagai nama jalan yang terletak di kawasan Menteng,
menggantikan nama Jl. Mampangweg. Dengan perang sabilnya, satu persatu
benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini
diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan
Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan
lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan
mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat
benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Teungku
Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun
1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Bukti kehebatan
beliau dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur Belanda untuk Aceh
semasa perjuangan beliau (1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu:
1.
Abraham Pruijs van der Hoeven
(1881-1883)
2.
Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
3.
Henry Demmeni (1884-1886)
4.
Henri Karel Frederik van Teijn
(1886-1891)
Belanda
yang merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim
makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan
akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk
Galong.