- Pendahuluan
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[1]
Terbentuknya tradisi menurut
Bronislaw Malinoski adalah karena manusia dihadapi dengan persoalan yang
meminta pemecahan serta penyelesaian. Tradisi itu pula terlahir dikarenakan
timbulnya ide dan tujuan bersama dari suatu masyarakat dalam penyelesaian
permasalahan yang mereka hadapi. Dari adanya ide dan tujuan bersama maka
terlaksanalah suatu kegiatan dan hal itu mereka lakukan secara kontiniu serta
turun temurun. Dari proses tersebut maka terbentuklah suatu tradisi.[2]
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek
moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli atau Sumatera Utara bagian
Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa
Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu,
yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum
ada artefak Neolitikum (Zaman
Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang
Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam.
Batak Karo adalah salah
satu sub suku Batak yang memiliki kebudayaan yang unik dan khas diantara suku Batak
yang lain. Sistem kepemimpinan sosial, yakni harajoan yang masih mereka jaga
hingga sekarang. Realitas ini menunjukan bahwa beberapa kebudayaan Batak Karo
masih dijadikan panduan hidup masyarakatnya. Dalam konteks untuk menjaga
kearifan lokal, kebudayaan batak karo penting untuk dikaji dan dikomentasikan.
Salah satu kebudayaan itu yang masih dipraktikkan oleh mereka adalah upa tondi.[3]
Di sini penulis mencoba membahas tentang
suku Batak terutama Batak Karo, sejarah Batak dan asal kata Batak, sejarah Karo
dan asal kata Karo, tradisi upa tendi dan urgensinya pada kehidupan di kalangan
Batak Karo.
- Batak
1) Asal
Kata Batak
Ada dugaan, asal kata Batak itu, dari
nama seorang Raja, yaitu si Raja Batak. Tapi ada pula pendapat lain, asal kata
batak itu: Beratak- Atak = Rumahnya berbaris- baris. Lalu disebut Baatak – atak
= Batak. Selanjutnya ada pula berpendapat bahwa Batak itu berasal dari kata
Bata atau Debata yang artinya Tuhan yang dipuja dalam sebutan mereka. Ada
sangkaan lain bahwa Batak itu asal dari kata Batok = Keras = Ingatlah Batok
kelapa yang keras. Artinya suku Batak itu sulit diatur. Lain halnya orang-
orang Belanda menyebut orang Batak dengan sebutan BATAKKER yang berarti “Batak
ahli dalam menunggang kuda”.[4]
Pada zaman dahulu kala, satu di antara
kegemaran orang Tapanuli ialah mangadu kerbau. Orang Tapanuli beroleh
kemenangan dalam setiap mengadu kerbau tersebut. Rahasia kemenangannya ialah
tiap mengadu kerbaunya selalu dibataknya
(dipukulnya) supaya bangkit semangatnya, amarah dan kekeutannya untuk
memperoleh kemenangan. Akhirnya orang Tapanuli terkenal kemenangannya mengadu
kerbau dengan cara membatak
kerbaunya. Akibat itu orang Tapanuli lebih terkenal dengan nama panggilan orang
Batak.[5]
2) Sejarah
Batak
Suku Batak adalah termasuk salah satu
suku yang tertua. Apakah suku ini berasal dari Austronesia sekitar Madagaskar
ataupun Austro-Asia (Menurut W. Smith). Pendapat W. Von Humboldt 1836 dan Dr Van der Tuk 1851- 1860, dan H. C. Von
der Gabalenz 1854- 1860 bangsa Batak
termasuk Melayu- Polinesia.
Dalam Bibel (Perjanjian Lama) Bahagian
Kitab Raja- Raja fasal 9 ayat 28 dan fasal 10 ayat 11 ada mengatakan bahwa Raja
Sulaiman (Nabi Sulaiman) menyuruh Hiram mengambil emas dan kayu cendana serta
permata- permata yang indah dari Ofir (Ophir). Dapat diketahui bahwa Ophir
tersebut terdapat di antara Tapanuli dengan Minangkabau (Gunung Talakmau
sekarang). Menurut taksiran kira- kira- 1000 tahun sebelum Masehi. Mesir pun
menurut dugaan telah mengenal suku Batak kira- kira 1800 tahun sebelum Masehi.
Sebab mengingat mayat Raja Faraoh yang mati dikapuri dengan kapur barus seperti
Fara Ramses II yang berada sekarang di London, meninggalnya kira- kira 1800
tahun sebelum Masehi.[6]
Dengan keterangan di atas tentu telah
dapat kita gambarkan bagaimana tuanya suku Batak sehingga tidak menutup
kemungkinan dapat diposisikan pada level peradaban kuno lainnya. Sehubungan
dengan itu dapat pula kita bayangkan tua bahasanya. Sebab seumur bangsanyalah
umur bahasanya.
- Batak
Karo
1) Asal
Kata Karo
Dari manakah asal kata Karo ini ?
Ada yang menduga berasal dari kata Arab
yakni Qarau yang berarti telah diajar membaca atau sembahyang, oleh orang-
orang arab. Ada pula yang menduga berasal dari Haro yaitu orang datang. Dapat
pula diartikan Karo ini adalah Karo atau keras.[7]
Dalam beberapa literature tentang Karo, etimologi Karo berasal dari nama
kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera
Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah
diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.[8]
2) Sejarah
Batak Karo
Kerajaan Haru- Karo mulai menjadi
kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahu secara kapan berdirinya. Namun
demikian, Brahma Putra dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan
bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya
bernama “Pa Lagan”. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari
suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan Haru sudah ada? Hal ini masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Kerajaan Haru- Karo diketahui tumbuh dan
berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaa, Johor,
Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan
kerajaan- kerajaan tersebut. Kerajaan Haru identik dengan suku Karo, yaitu
salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru- Karo mulai
dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru- Karo di Aceh
dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa
Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta
Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, Blangkejren
dan lainnya.[9]
- Makna
Upa dan Tendi
Upa
secara
bahasa diartikan pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang
dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar memperoleh kebaikan. Kata Upa ini senada dengan kata Upah-
upah, Mangupa dan Pangupa yang
arti dan maksudnya juga sama yaitu berhajat dan mendoakan orang yang di upa-
upakan.[10]
Sedangkan Tendi adalah
jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi
nyawa kepada manusia. Tendi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila
tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau
meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang
menawannya.
Tendi (roh, nyawa)
berada dalam tubuh manusia dan merupakan satu kesatuan. Manusia menjadi makhluk
yang hidup karena memiliki tendi. Tendi memiliki zat kehidupan yang berlangsung
selama- lamanya dan tidak dapat rusak oleh apapun. Orang Karo zaman dahulu
mengenal ada dua jenis tendi, yaitu:
Pertama, tendi yang terdapat dalam tubuh
manusia dan berhubungan dengannya pada masa kehidupan manusia saja.
Kedua, tendi yang merupakan bayangan
yang melanjutkan aktivitas manusia. Artinya, secara biologis manusia telah
mati, tapi aktivitasnya masih dilanjutkan oleh tendinya.
Kehadiran
tendi dalam tubuh manusiamerupakan faktor penentu bagi kesehatan manusia.
Timbulnya suatu penyakit, kegelisahan atau kemalangan diyakini sebagai akibat
dari lemahnya tendi atau kepergian tendi
dari tubuh manusia. Bila kepergian tendi berlangsung lama dan tidak
datang lagi ke dalam tubuh dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian bagi
manusia. Konon ada empat penyebab tendi meninggalkan tubuh manusia yaitu saat
tidur, terkejut, mimpi dan kematian.[11]
Jadi upa tondi adalah
suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang
yang di upa agar tondinya dapat kembali kedalam
tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma.[12]
Selain tondi, di kalangan batak karo
meyakini ada dua macam lagi tondi dengan sebutan yang lain yang beartikan jiwa
atau roh, yakni:
1) Sahala
Sahala adalah jiwa atau
roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak
semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian
yang dimiliki para raja atau hula-hula.[13]
2) Begu
Secara sederhana dan
harfiah begu sebetulnya berarti roh, begu ini dimaksudkan dalam konteks yang
lebih luas dari ’teologi’ dan ‘agama’ tradisional suku Karo sendiri. Secara
khusus paham ‘pneumatologi’ Karo (pneuma= roh, spirit).[14]
Namun secara istilah begu
adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah
laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.[15]
Akan tetapi, bila upa
tendi dilaksanakan atau dipraktekkan oleh Islam Karo, maka mengharapkan sahala
(berkat) ditujukan kepada Allah SWT.
- Upa
Tondi Batak Karo
Upa atau pun mangupaupa tondi
adalah tradisi budaya batak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, dari hula-hula
kepada boru. Tradisi ini sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak dulu
yang dipercaya ritual memohon meminta Sahala (berkat) kepada Oppung Mula Jadi
Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa/ jika Islam kepada Allah SWT) agar diberikan
keselamatan/ sembuhan.
Biasanya tradisi ini
diberikan kepada orang yang sakit, lemah, terkejut (shok), naas dari sebuah
kecelakaan. Karena orang-orang yang mengalami kejadian-kejadian tersebut
dianggap roh meninggalkan tubuh orang tersebut dan dilakukanlah tradisi
mangupaupa bertujuan agar rohnya dapat kembali ke dalam tubuhnya atau sering
disebut Mulak Tondi Tu Ruma.[16].
Pada sumber yang lain Upa Tendi atau Mangupa Tondi ini
dilakukan bila seseorang dalam keadaan yang sangat membahayakan sekali
(terbukti dari eksistensi tondi yang sudah keluar dari rumah untuk jangka waktu
yang lebih lama lagi) maka diadakan
acara yang bukan saja hanya memanggil tondi/ tendi pulang ke rumah (Mulak Tondi
Tu Ruma) tetapi juga yang terpenting untuk berusaha “menguatkan” . Dalam
hubungan ini orang batak mempercayai bahwa tondi yang sudah sangat lemah, dan
menderita karena terancam kepergian tondi keluar adalah dianggap sebagai tondi
yang ‘miskin’. Tondi yang miskin perku dan harus dikayakan, sebab kekayaan
menunjukkan kekuatan. Apabila tondi harus dikayakan dengan pemberian barang-
barang berharga, makanan tertentu yang
di upa- upakan maka seharusnya diadakan upacara ‘mangupa tondi’. Dalam upacara
mangupa tondi, bermacam- macam barang dapat diberikan kepada orang yang sakit,
seperti, makanan, beras, kerbau, atau binatang ternak lainnya. Tetapi pemberian
yang paling lazim dan dianggap sangat
tinggi nilainya ialah pemberian selembar ‘Ulos’.
Keterlibatan pihak hula-
hula dalam memberikan ulos penguat tondi ini adalah dilatarbelakangi oleh
pengertian “sahala” yang dipunyai oleh pihak hula- hula. Ulos yang diberikan
oleh pihak hula- hula kepada bere- bere selalu dimaksudkan sebagai lambang
transformasi “berkat” yang disalurkan oleh pihak hula- hula kepada berenya.
Berkat yang disalurkan melalui pemberian ulos ini mempunyai arti untuk
“mengkayakan” roh daripada orang yang sedang menderita kelemahan tondi.[17]
Inilah salah satu budaya batak yang diwariskan oleh nenek
moyang kita agar selalu memohon keselamatan dan kesembuhan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Sebuah tradisi yang tetap dijungjung tinggi nilai budaya dan
dilestarikan.[18]
1. Peralatan
dan Bahan- bahan
Bahan
yang digunakan untuk menyusun perangkat upa
tendi beragam, tergantung pada faktor daerah, adat dan orang yang menyusun
dan menyampaikan hajat tersebut. Kadang- kadang upa tendi yang dilaksanakan yang sama dengan maksud dan pelaksanaan
upa tendi yang sama, tapi bahan yang
disajikan berbeda. Hal itu pun tergantung juga pada kesanggupan yang punya hajat.
Adapun
bahan- bahannya pada pengupahan biasa:
·
Ayam panggang
·
Hati ayam yang dipanggang
·
Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·
Ikan mas arsik
·
Udang rebus atau goring
·
Napuran
·
Sagu- sagu
·
Nasi pulut kunyit
·
Sayur- mayur
Bahan-
bahan pengupahan lengkap:
·
Ayam panggang
·
Hati ayam yang dipanggang
·
Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·
Ikan mas arsik
·
Udang rebus atau goring
·
Napuran
·
Sagu- sagu
·
Nasi pulut kunyit
·
Sayur- mayur
·
Gulai kepala kambing
·
Bagian tubuh kambing yang dapat dimakan
selain kepala
Bahan-
bahan pengupahan sangat lengkap:
·
Ayam panggang
·
Hati ayam yang dipanggang
·
Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·
Ikan mas arsik
·
Udang rebus atau goreng
·
Napuran
·
Sagu- sagu
·
Nasi pulut kunyit
·
Sayur- mayur
·
Gulai kepala kambing
·
Bagian tubuh kambing yang dapat dimakan selain
kepala
·
Gulai kepala kerbau
·
Bagian tubuh kerbau yang dapat dimakan selain
kepala[19]
2. Waktu
dan Tata Laksana
a. Waktu
Ada
beberapa waktu pelaksanaan mengupa- upa tendi orang yang mau di upa- upakan:
1) Pernikahan
2) Naik
haji
3) Selamatan
4) Wisuda
Akan tetapi
umumnya pelaksanaan upa tendi ini lebih diutamakan terhadap orang yang selalu
merasa gagal, putus asa dan lemah semangat hidupnya seperti pada waktu terkena kecelakaan,
tertimpa musibah dan bencana. Orang tersebut tentunya merasa kehilangan
semangat hidup, kehilangan orang- orang yang disayang dan kehilangan harta
benda. Maka dari itu diupa- upa lah orang tersebut guna mengembalikan roh/
spirit yang hilang agar kembali lagi ke dalam tubuh dan menjadi spirit baru
dalam menjalankan lembaran hidup baru yang penuh semangat. Dan bagi yang
kehilangan harta benda, oleh pihak hula- hula diberikan modal (dahulu sebidang
tanah) untuk membuka usaha.
b. Tata
Laksana
1) Semua
hadirin termasuk pelantun upa tendi yang lazim disebut si Pengupa memasuki
tempat pelaksanaan kegiatan. Umumnya mereka duduk membentuk sebuah lingkaran
atau persegi panjang. Biasanya upa tendi diadakan
di rumah atau balai- balai yang khusus untuk acara ini
2) Kemudian
orang yang akan di upa diminta duduk bersila di tengah- tengah lingkaran atau
mengambil bagian lingkaran dengan menghadap para hadirin.
3) Bahan upa
tendi yang telah dipersiapkan diletakkan di depan orang yang akan di upa- upa.
4) Bila
upa tendi masuk dalam perhelatan besar maka prosesinya dipimpin oleh seorang protokol.
Namun apabila acaranya dalam skala kecil maka acaranya cukup dipimpin oleh si
Pelantun upah tendi.
5) Pembukaan
oleh protokol. Kemudian orang yang punya rumah atau yang punya hajat
menyampaikan sepatah dua patah kata kepada hadirin dengan maksud dimulainya
acara.
6) Berikutnya
adalah acara inti, yang punya hajat mengupa-
upakan orang yang di upa- upa dengan
cara membacakan kalimat upa tendi,
biasanya kalimat tersebut berupa do’a kebaikan dan keselamatan terhadap yang di
upa- upakan, menghadapkan bahan upa tendi berupa makanan kepada orang
yang di upa- upa.
7) Si
Pengupah melantunkan kalimat upah tendi.[20]
Di sini penulis belum mendapatkan contoh sajak syair untuk
upa tendi pada orang yang mengalami musibah namun penulis menemukan contoh
sajak syair yang menjadi doa dan nasehat pada acara upa tendi pernikahan (Markobar/ adat mandailing).
Adapun penggalan sajak syairnya seperti ini:
Panyoruna
tarsongon on ma: Dalam
upah- upahnya kira- kira demikian:
Najolo
nigorar ho Sidalian, Dahulu
dikasi namamu di Dalian
Paboahon
anak tubu, Memberitahukan
anak laki- laki telah lahir
Hiras doho
di hangoluan, Sehat
kau dalam kehidupan ini
Lopus ho
dapotan jodu Sampai
menemui teman hidupmu
Najolo
nigorar ho si Butet, Dahulu
diberi namamu si Butet
Paboahon
anak dadaboru, Memberitahukan
lahir anak perempuan
Hiras doho
nada ruket, Sehatnya
kau tidak ringset
Lopus ho dapotan
jodu Sampai
engkau dapat jodoh
Songon parbontar ni bulung ni motung Seperti putihnya daun motung, putih berdua warna
Bontar mardua rupa, Hijau
disebelah bawah tapi putih di sebelah atas
Rata dibutuhana, bontar di tanggurungna Bertuahlah dan mendapat keuntungan kalian
Martua hamu jana maruntung, berdua
Ima sinta- sinta ni bayo pangupa, Itulah pengaharapan kami yang memberi upah- ` upah
Simbur laho magodang, Cepat
menuju besar dan lincah menuju tua.
peng- peng laho matua.
Truuuuuuupa- upa Truuuuuuupa-
upa
Truuuuuuuma tondi Truuuuuuuma
tondi
Horas!!! (3 noli).[21] Horas!!!
(3 kali)
8)
Diberilah Ulos, beras/ boras si pir ni tondi serta makanan khusus
yang dibuat sedemikian rupa sebagai simbol ritual budaya. Hal ini bisa kami paparkan
saat mengikuti sebuah adat Mangupaupa hula-hula kepada pihak bere- bere seorang
tua dalam kondisi sakit-sakitan.
9)
Mulai dari hulahula,
huta serta keluarga manulangi (menyuapi) semua hidangan yang disiapkan kepada
yang sakit sembari mengucapkan permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan
kesembuhan kemudian di ulosi dengan ulos yang terbaik agar Mulak Tondi Tu Ruma.
10)
Ngaloken cincin:
pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari mama paman) ke bere-bere atau
dari bibi ke paman.[22]
F.
Aspek
Nilai/ Filosofis
Menurut pendapat
beberapa ulama, selagi adat tradisi suatu suku itu tidak berbentuk ibadah bagi
mereka maka tidaklah mengapa. Karena suatu amal ibadah yang dilakukan bukan
berasal dari Rasulullah, maka ibadah itu tertolak.
Sebagaimana
hadits Rasulullah SAW berbunyi:
“Barangsiapa yang membuat- buat sesuatu dalam
urusan kami maka sesuatu itu ditolak”. (H.R. Muslim).[23]
Adapun tradisi
yang dipraktekkan oleh kalangan masarakat Karo meski sebagian besar
masyarakatnya beragama Kristen, namun tradisi tersebut berisikan nilai- nilai
positif, diantaranya:
1. Berisi
nasihat
Nasihat secara
khusus diberikan kepada orang yang di upa- upakan tendinya. Selain itu para
hadirin yang ada di upacara yang mendengar nasihat juga merasakan dampak
nasihat dari kata- kata upa tendi.
2. Nilai
do’a
Kata- kata dalam
pengupahan tendi sarat dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Allah SWT (versi
Islam Karo). Doa tersebut berisi permohonan, kesehatan dan keselamatan,
kebahagiaan dan kejayaan bagi orang- orang yang di upa- upakan, keluarga dan
para hadirin.
3. Mempererat
silaturrahim
Persiapan dan
prosesi pelaksanaan acara upa tendi mengajarkan tradisi bersilaturrahim kepada
anggota keluarga dan masyarakat. Pertemuan, gotong- royong, do’a bersama, makan
bersama dan saling bercengkrama tentunya akan memupuk rasa persaudaraan yang
tinggi di tengah- tengah masyarakat.
4. Memupuk
rasa syukur
Umat Islam di
Karo yang dengan membuat acara ini dianjurkan untuk selalu ingat kepada Allah
SWT dan bersyukur ats nikmat- Nya yang telah dilimpahkan. Dalam kegiatan ini
juga terkandung pula makna pemupukan rasa syukur, senantiasa dianjurkan ingat
kepada Allah SWT dan bertawakkal kepada- Nya.
5. Elaborasi
spirit
Secara ilmiah,
pelaksanaan upa- upah pada tendi seseorang yang terkejut, terkena bencana/
penyakit mengandung unsur sugesti atau dorongan spiritual terhadap moral satu
individu atau kelompok. Dampaknya akan terlihat apabila peserta benar- benar
mengerti dan paham, menghayati serta merasa bagian dari pengupahan tersebut sehingga
melahirkan semangat baru dalam mengarungi kehidupan.
- Kesimpulan
Kerajaan
Haru- Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahu
secara kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra dalam bukunya “Karo dari
Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di
Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”.
Upa
tendi adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan
mendoa’kan orang yang di upa agar tendinya
dapat kembali ke dalam
tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma
Upa atau pun mangupaupa
adalah tradisi budaya batak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, dari
hula-hula kepada boru. Tradisi ini sudah diwariskan oleh nenek moyang kita
sejak dulu yang dipercaya ritual memohon meminta Sahala (berkat) kepada Oppung
Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) agar diberikan keselamatan/ sembuhan.
Akan tetapi
umumnya pelaksanaan upa tendi ini lebih diutamakan terhadap orang yang selalu
merasa gagal, putus asa dan lemah semangat hidupnya seperti pada waktu terkena
kecelakaan, tertimpa musibah dan bencana. Orang tersebut tentunya merasa
kehilangan semangat hidup, kehilangan orang- orang yang disayang dan kehilangan
harta benda. Maka dari itu diupa- upa lah orang tersebut guna mengembalikan
roh/ spirit yang hilang agar kembali lagi ke dalam tubuh dan menjadi spirit
baru dalam menjalankan lembaran hidup baru yang penuh semangat. Dan bagi yang
kehilangan harta benda, oleh pihak hula- hula diberikan modal (dahulu sebidang
tanah) untuk membuka usaha.
Adapun tradisi
yang dipraktekkan oleh kalangan masarakat karo meski sebagian besar
masyarakatnya beragama Kristen, namun tradisi tersebut berisikan nilai- nilai
positif, di antaranya berisi nasihat, nilai do’a, mempererat silaturrahim, memupuk
rasa syukur, dan yang paling penting adalah pengembalian dan elaborasi spirit.
Referensi:
Book:
Ø Al-
Farabi, Mohammad. 2010. Diktat
MetodologiStudi Islam. Medan
Ø Al-
Qur’an danTerjemahnya. Semarang: PT. KaryaToha Putra Semarang
Ø Dada
Meuraxa. 1973. Sejarah Kebudayaan Suku-
Suku di Sumatera Utara. Medan
Ø Rudolf
Pasaribu. 1988. Agama Suku dan Batakologi.
Medan: Pieter.
Ø Syahmerdan
Lubis.1997. Adat Hangoluan Mandailing.
Medan
Wawancara:
Ø Kutipan
wawancara dari saudari Nurul Muthma’innah, sem I/ BKI IV, IAIN- SU, asal Panyabungan-
Mandailing
Ø Kutipan
wawancara dari saudara Agus- Padang Bulan.
Ø Kutipan
wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
Net:
Ø http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
Ø http://www.gobatak.com/mangupaupa-tradisi-doa-kesembuhan-dan-keselamatan/
Ø www.mutiarazuhud.com/maulid-nabi-saw/?print=1
Ø http://lisakaban.blogspot.com/2010/06/asal-usul-etnis-dan-nama-karo.html
Ø http://kita-kalak-karo.blogspot.com/2011/12/pakaian-adat-sejarah-dan-kediaman.html
Ø http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2575/upacara-adat-upah-upah-memasuki-hidup-baru-bagi-masyarakat-rokan-hulu-propinsi-riau
[1]
Surah Al- Hujurat : 13
[2] Muhammad
Al- Farabi, Diktat Metodologi Islam, h. 68
[3]
http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
[4]
Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku- Suku di Sumatera Utara, h. 515
[5]
Ibid, h. 554
[6]
Ibid, h. 471
[7]
Ibid, h. 341
[8]
http://lisakaban.blogspot.com/2010/06/asal-usul-etnis-dan-nama-karo.html
[9]
http://kita-kalak-karo.blogspot.com/2011/12/pakaian-adat-sejarah-dan-kediaman.html
[10]
Kutipan wawancara dari saudari Nurul Muthma’innah, IAIN- SU, sem I/ BKI IV,
asal Panyabungan- Mandailing
[11]
http://limamarga.blogspot.com/2012/04/menguak-misteri-begu-ganjang.html
[12]
Kutipan wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
[13]
http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
[14]
http://limamarga.blogspot.com/2012/04/menguak-misteri-begu-ganjang.html
[15]
http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
[16]
Kutipan wawancara dari saudara Agus- Padang Bulan
[17]
Rudolf Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, h. 132.
[18] http://www.gobatak.com/mangupaupa-tradisi-doa-kesembuhan-dan-keselamatan/
[19]
Kutipan wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
[20]http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2575/upacara-adat-upah-upah-memasuki-hidup-baru-bagi-masyarakat-rokan-hulu-propinsi-riau
[21]
Syahmerdan Lubis, Adat Hangoluan Mandailing, h. 288
[22]
Kutipan wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
[23]
www.mutiarazuhud.com/maulid-nabi-saw/?print=1