Jumat, 13 Desember 2013

Biografi Teuku Chik Di Tiro


Nama kecilnya adalah Muhammad Saman merupakan putra dari Teuku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh dan wafat di Benteng, Aneuk Galong, Januari 1891, dan di makamkan di Indrapura, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.[1]

Pada masa kecil Saman, sekolah seperti sekarang belum ada di daerahnya. Satu-satunya tempat menuntut ilmu adalah surau. Tentu saja yang paling banyak diajarkan diasana adalah tentang agama. Mulai dari membaca dan menghayati Al-Quran sampai pada pendidikan agama.Tetapi dalam Al-Quran sendiri sudah terkandung berbagai ilmu pengetahuan. Jadi, tergantung pada orang yang mempelajarinya jika tekun dan bersungguh akan besar manfaatnya.

Mohhamad Saman ternyata termasuk anak yang haus ilmu pengetahuan. Dia sangat giat belajar. Siapa saja yang lebih pandai, dijadikanya guru. Dalam bergaul, dia memilih pergaulan yang baik. Dia lebih banyak berada dalam lingkungan orang- orang yang juga haus pengetahuan. Sejak kecil Mohhamad Saman sangat disiplin. Dia tidak pernah membuang waktu sia-sia. Bermain hanya sekedarnya saja. Selain di surau dan dalam pergaulan,dia juga belajar pada ibunya. Sekalipun dikenal sebagai anak yang pandai, dia selalu menghormati orang yang lebih tua. 

Budi bahasanya baik dan luhur. Karena itu, dia juga dihormati dan disenangi dalam pergaulan. Dalam kehidupan dia tidak mau berkhayal yang bukan-bukan. Dia tidak pernah meminta sesuatu yang melebihi kemampuan orang tuanya. Dengan perkataan lain, dia anak tahu diri . Sebab, dia juga menyadari bahwa gila akan kemewahan adalah bujukan iblis. Sampai dewasa dia masih haus akan ilmu. Dia berguru kemana-mana. Ketika usianya sudah mencapai empat puluh tahun, dia masih berguru. Pada usia tersebut, dia berguru di Lamkrak, di kawasan Aceh Besar.

Pelajaran yang diterima dari ayah dan pamannya dirasanya belum cukup. Karena itulah ia pergi belajar pada beberapa guru lain, seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang dan Teungku Cik di Tanjung Bungong. Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di Lamkrak. Pulang dari Lamkrak, ia membantu pamannya mengajar di Tiro. Pengetahuannya cukup luas. Teungku Cik Dayah Cut, pamannya, mengharapkan agar Saman kelak mampu menggantikannya sebagai guru agama sesuai dengan tradisi keluarga ulama Tiro. Sesudah mengajar beberapa waktu lamanya, Saman berniat menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, terlebih dulu dikunjunginya bekas guru-gurunya untuk memohon doa restu, yang terakhir dikunjunginya ialah Teungku Cik di Lamkrak, tetapi ternyata guru ini sudah meninggal dunia.[2]  Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. 

Sejak kecil ia sudah biasa hidup di lingkungan pesantren dan bergaul dengan para santri. Setelah belajar ilmu agama pada beberapa ulama terkenal di Aceh, ia menunaikan ibadah Haji dan memperdalam ilmu agama di Mekah. Sesudah itu ia menjadi guru agama di Tiro.[3] Dibesarkan pada saat memburuknya hubungan Aceh dengan Belanda. Pada tahun 1873 Kompeni mulai memerangi Aceh untuk menaklukkan kerajaan tersebut dan menempatkannya di bawah kekuasaan Belanda, pasukan pertama berhasil dipukul mundur. Panglimanya, Mayor Jenderal JHR Kohler tewas dalam pertempuran. Sesudah itu, Kompeni mengirimkan pasukan yang lebih besar dan kuat. Lama-kelamaan pejuang Aceh terdesak. 

Daerah Aceh Besar jatuh ke tangan Kompeni dan kekuatan Aceh mulai lemah. Pada waktu itu, ia muncul memimpin perang dan membentuk Angkatan Perang Sabil dengan mendapat bantuan golongan hulubalang. Sultan Aceh mempercayainya sebagai pemimpin perang, dan perjuangan dilakukan atas dasar agama dan kebangsaan. Dalam serangan yang dilancarkan bulan Mei 1881, benteng Belanda di Indrapura berhasil direbut pasukannya. Kemudian jatuh pula benteng Lambaro, Ancuk Galang, dan lain-lain. Belanda semakin terdesak, mereka bertahan saja dalam benteng di Banda Aceh. Tetapi ke dalam benteng itu pun ia mengerahkan pasukan untuk melakukan sabotase. 

Pulau Breuh pun mendapat serangan, dari situ ia bermaksud merebut Banda Aceh. Kompeni jadi kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai tidak lebih dari empat kilometer persegi. Belanda menyadari bahwa sumber semangat Aceh pada waktu itu ialah Teungku Cik Di Tiro, karena itu Kompeni bermaksud membunuhnya. Mereka berhasil membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama yang diangkat menjadi Kepala Sagi. Kemudian, orang itu menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke dalam makanan dan diberikannya kepada Cik di Tiro. Akibatnya Cik di Tiro jatuh sakit dan meninggal dunia di benteng Ancuk Galang pada bulan Januari 1891. Di Jakarta namanya diabadikan sebagai nama jalan yang terletak di kawasan Menteng, menggantikan nama Jl. Mampangweg. Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Bukti kehebatan beliau dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur Belanda untuk Aceh semasa perjuangan beliau (1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu:

1.      Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
2.      Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
3.      Henry Demmeni (1884-1886)
4.      Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)

Belanda yang merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar