Kamis, 29 November 2012

Urgensi Upa Tendi Batak Karo


  1. Pendahuluan
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[1]
            Terbentuknya tradisi menurut Bronislaw Malinoski adalah karena manusia dihadapi dengan persoalan yang meminta pemecahan serta penyelesaian. Tradisi itu pula terlahir dikarenakan timbulnya ide dan tujuan bersama dari suatu masyarakat dalam penyelesaian permasalahan yang mereka hadapi. Dari adanya ide dan tujuan bersama maka terlaksanalah suatu kegiatan dan hal itu mereka lakukan secara kontiniu serta turun temurun. Dari proses tersebut maka terbentuklah suatu tradisi.[2]
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli atau Sumatera Utara bagian Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam.
Batak Karo adalah salah satu sub suku Batak yang memiliki kebudayaan yang unik dan khas diantara suku Batak yang lain. Sistem kepemimpinan sosial, yakni harajoan yang masih mereka jaga hingga sekarang. Realitas ini menunjukan bahwa beberapa kebudayaan Batak Karo masih dijadikan panduan hidup masyarakatnya. Dalam konteks untuk menjaga kearifan lokal, kebudayaan batak karo penting untuk dikaji dan dikomentasikan. Salah satu kebudayaan itu yang masih dipraktikkan oleh mereka adalah upa tondi.[3]
Di sini penulis mencoba membahas tentang suku Batak terutama Batak Karo, sejarah Batak dan asal kata Batak, sejarah Karo dan asal kata Karo, tradisi upa tendi dan urgensinya pada kehidupan di kalangan Batak Karo.
  1. Batak
1)      Asal Kata Batak
Ada dugaan, asal kata Batak itu, dari nama seorang Raja, yaitu si Raja Batak. Tapi ada pula pendapat lain, asal kata batak itu: Beratak- Atak = Rumahnya berbaris- baris. Lalu disebut Baatak – atak = Batak. Selanjutnya ada pula berpendapat bahwa Batak itu berasal dari kata Bata atau Debata yang artinya Tuhan yang dipuja dalam sebutan mereka. Ada sangkaan lain bahwa Batak itu asal dari kata Batok = Keras = Ingatlah Batok kelapa yang keras. Artinya suku Batak itu sulit diatur. Lain halnya orang- orang Belanda menyebut orang Batak dengan sebutan BATAKKER yang berarti “Batak ahli dalam menunggang kuda”.[4]
Pada zaman dahulu kala, satu di antara kegemaran orang Tapanuli ialah mangadu kerbau. Orang Tapanuli beroleh kemenangan dalam setiap mengadu kerbau tersebut. Rahasia kemenangannya ialah tiap mengadu kerbaunya selalu dibataknya (dipukulnya) supaya bangkit semangatnya, amarah dan kekeutannya untuk memperoleh kemenangan. Akhirnya orang Tapanuli terkenal kemenangannya mengadu kerbau dengan cara membatak kerbaunya. Akibat itu orang Tapanuli lebih terkenal dengan nama panggilan orang Batak.[5]

2)      Sejarah Batak
Suku Batak adalah termasuk salah satu suku yang tertua. Apakah suku ini berasal dari Austronesia sekitar Madagaskar ataupun Austro-Asia (Menurut W. Smith). Pendapat W. Von Humboldt 1836  dan Dr Van der Tuk 1851- 1860, dan H. C. Von der  Gabalenz 1854- 1860 bangsa Batak termasuk Melayu- Polinesia.
Dalam Bibel (Perjanjian Lama) Bahagian Kitab Raja- Raja fasal 9 ayat 28 dan fasal 10 ayat 11 ada mengatakan bahwa Raja Sulaiman (Nabi Sulaiman) menyuruh Hiram mengambil emas dan kayu cendana serta permata- permata yang indah dari Ofir (Ophir). Dapat diketahui bahwa Ophir tersebut terdapat di antara Tapanuli dengan Minangkabau (Gunung Talakmau sekarang). Menurut taksiran kira- kira- 1000 tahun sebelum Masehi. Mesir pun menurut dugaan telah mengenal suku Batak kira- kira 1800 tahun sebelum Masehi. Sebab mengingat mayat Raja Faraoh yang mati dikapuri dengan kapur barus seperti Fara Ramses II yang berada sekarang di London, meninggalnya kira- kira 1800 tahun sebelum Masehi.[6]
Dengan keterangan di atas tentu telah dapat kita gambarkan bagaimana tuanya suku Batak sehingga tidak menutup kemungkinan dapat diposisikan pada level peradaban kuno lainnya. Sehubungan dengan itu dapat pula kita bayangkan tua bahasanya. Sebab seumur bangsanyalah umur bahasanya.
  1. Batak Karo
1)      Asal Kata Karo
Dari manakah asal kata Karo ini ?
Ada yang menduga berasal dari kata Arab yakni Qarau yang berarti telah diajar membaca atau sembahyang, oleh orang- orang arab. Ada pula yang menduga berasal dari Haro yaitu orang datang. Dapat pula diartikan Karo ini adalah Karo atau keras.[7] Dalam beberapa literature tentang Karo, etimologi Karo berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.[8]
2)      Sejarah Batak Karo
Kerajaan Haru- Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahu secara kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan Haru sudah ada? Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Kerajaan Haru- Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaa, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan- kerajaan tersebut. Kerajaan Haru identik dengan suku Karo, yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru- Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru- Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, Blangkejren dan lainnya.[9]
  1. Makna Upa dan Tendi
Upa secara bahasa diartikan pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar memperoleh kebaikan. Kata Upa ini senada dengan kata Upah- upah, Mangupa dan Pangupa yang arti dan maksudnya juga sama yaitu berhajat dan mendoakan orang yang di upa- upakan.[10]
Sedangkan Tendi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tendi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Tendi (roh, nyawa) berada dalam tubuh manusia dan merupakan satu kesatuan. Manusia menjadi makhluk yang hidup karena memiliki tendi. Tendi memiliki zat kehidupan yang berlangsung selama- lamanya dan tidak dapat rusak oleh apapun. Orang Karo zaman dahulu mengenal ada dua jenis tendi, yaitu:
            Pertama, tendi yang terdapat dalam tubuh manusia dan berhubungan dengannya pada masa kehidupan manusia saja.
            Kedua, tendi yang merupakan bayangan yang melanjutkan aktivitas manusia. Artinya, secara biologis manusia telah mati, tapi aktivitasnya masih dilanjutkan oleh tendinya.
            Kehadiran tendi dalam tubuh manusiamerupakan faktor penentu bagi kesehatan manusia. Timbulnya suatu penyakit, kegelisahan atau kemalangan diyakini sebagai akibat dari lemahnya tendi atau kepergian tendi  dari tubuh manusia. Bila kepergian tendi berlangsung lama dan tidak datang lagi ke dalam tubuh dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian bagi manusia. Konon ada empat penyebab tendi meninggalkan tubuh manusia yaitu saat tidur, terkejut, mimpi dan kematian.[11]
Jadi upa tondi adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar tondinya dapat kembali kedalam tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma.[12]
Selain tondi, di kalangan batak karo meyakini ada dua macam lagi tondi dengan sebutan yang lain yang beartikan jiwa atau roh, yakni:
1)      Sahala 
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.[13]
2)      Begu 
Secara sederhana dan harfiah begu sebetulnya berarti roh, begu ini dimaksudkan dalam konteks yang lebih luas dari ’teologi’ dan ‘agama’ tradisional suku Karo sendiri. Secara khusus paham ‘pneumatologi’ Karo (pneuma= roh, spirit).[14]
Namun secara istilah begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.[15]
Akan tetapi, bila upa tendi dilaksanakan atau dipraktekkan oleh Islam Karo, maka mengharapkan sahala (berkat) ditujukan kepada Allah SWT.

  1. Upa Tondi Batak Karo
Upa atau pun mangupaupa tondi adalah tradisi budaya batak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, dari hula-hula kepada boru. Tradisi ini sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak dulu yang dipercaya ritual memohon meminta Sahala (berkat) kepada Oppung Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa/ jika Islam kepada Allah SWT) agar diberikan keselamatan/ sembuhan.
Biasanya tradisi ini diberikan kepada orang yang sakit, lemah, terkejut (shok), naas dari sebuah kecelakaan. Karena orang-orang yang mengalami kejadian-kejadian tersebut dianggap roh meninggalkan tubuh orang tersebut dan dilakukanlah tradisi mangupaupa bertujuan agar rohnya dapat kembali ke dalam tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma.[16].
Pada sumber yang lain Upa Tendi atau Mangupa Tondi ini dilakukan bila seseorang dalam keadaan yang sangat membahayakan sekali (terbukti dari eksistensi tondi yang sudah keluar dari rumah untuk jangka waktu yang lebih lama lagi) maka  diadakan acara yang bukan saja hanya memanggil tondi/ tendi pulang ke rumah (Mulak Tondi Tu Ruma) tetapi juga yang terpenting untuk berusaha “menguatkan” . Dalam hubungan ini orang batak mempercayai bahwa tondi yang sudah sangat lemah, dan menderita karena terancam kepergian tondi keluar adalah dianggap sebagai tondi yang ‘miskin’. Tondi yang miskin perku dan harus dikayakan, sebab kekayaan menunjukkan kekuatan. Apabila tondi harus dikayakan dengan pemberian barang- barang  berharga, makanan tertentu yang di upa- upakan maka seharusnya diadakan upacara ‘mangupa tondi’. Dalam upacara mangupa tondi, bermacam- macam barang dapat diberikan kepada orang yang sakit, seperti, makanan, beras, kerbau, atau binatang ternak lainnya. Tetapi pemberian yang paling lazim  dan dianggap sangat tinggi nilainya ialah pemberian selembar ‘Ulos’.
Keterlibatan pihak  hula- hula dalam memberikan ulos penguat tondi ini adalah dilatarbelakangi oleh pengertian “sahala” yang dipunyai oleh pihak hula- hula. Ulos yang diberikan oleh pihak hula- hula kepada bere- bere selalu dimaksudkan sebagai lambang transformasi “berkat” yang disalurkan oleh pihak hula- hula kepada berenya. Berkat yang disalurkan melalui pemberian ulos ini mempunyai arti untuk “mengkayakan” roh daripada orang yang sedang menderita kelemahan tondi.[17]
Inilah salah satu budaya batak yang diwariskan oleh nenek moyang kita agar selalu memohon keselamatan dan kesembuhan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebuah tradisi yang tetap dijungjung tinggi nilai budaya dan dilestarikan.[18]

1.      Peralatan dan Bahan- bahan
Bahan yang digunakan untuk menyusun perangkat upa tendi beragam, tergantung pada faktor daerah, adat dan orang yang menyusun dan menyampaikan hajat tersebut. Kadang- kadang upa tendi yang dilaksanakan yang sama dengan maksud dan pelaksanaan upa tendi yang sama, tapi bahan yang disajikan berbeda. Hal itu pun tergantung juga pada kesanggupan yang punya hajat.
Adapun bahan- bahannya pada pengupahan biasa:
·         Ayam panggang
·         Hati ayam yang dipanggang
·         Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·         Ikan mas arsik
·         Udang rebus atau goring
·         Napuran
·         Sagu- sagu
·         Nasi pulut kunyit
·         Sayur- mayur
Bahan- bahan pengupahan lengkap:
·         Ayam panggang
·         Hati ayam yang dipanggang
·         Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·         Ikan mas arsik
·         Udang rebus atau goring
·         Napuran
·         Sagu- sagu
·         Nasi pulut kunyit
·         Sayur- mayur
·         Gulai kepala kambing
·         Bagian tubuh kambing yang dapat dimakan selain kepala
Bahan- bahan pengupahan sangat lengkap:
·         Ayam panggang
·         Hati ayam yang dipanggang
·         Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·         Ikan mas arsik
·         Udang rebus atau goreng
·         Napuran
·         Sagu- sagu
·         Nasi pulut kunyit
·         Sayur- mayur
·         Gulai kepala kambing
·         Bagian tubuh kambing yang dapat dimakan selain kepala
·         Gulai kepala kerbau
·         Bagian tubuh kerbau yang dapat dimakan selain kepala[19]

2.      Waktu dan Tata Laksana
a.       Waktu
Ada beberapa waktu pelaksanaan mengupa- upa tendi orang yang mau di upa- upakan:
1)      Pernikahan
2)      Naik haji
3)      Selamatan
4)      Wisuda
Akan tetapi umumnya pelaksanaan upa tendi ini lebih diutamakan terhadap orang yang selalu merasa gagal, putus asa dan lemah semangat hidupnya seperti pada waktu terkena kecelakaan, tertimpa musibah dan bencana. Orang tersebut tentunya merasa kehilangan semangat hidup, kehilangan orang- orang yang disayang dan kehilangan harta benda. Maka dari itu diupa- upa lah orang tersebut guna mengembalikan roh/ spirit yang hilang agar kembali lagi ke dalam tubuh dan menjadi spirit baru dalam menjalankan lembaran hidup baru yang penuh semangat. Dan bagi yang kehilangan harta benda, oleh pihak hula- hula diberikan modal (dahulu sebidang tanah) untuk membuka usaha.

b.      Tata Laksana
1)      Semua hadirin termasuk pelantun upa tendi yang lazim disebut si Pengupa memasuki tempat pelaksanaan kegiatan. Umumnya mereka duduk membentuk sebuah lingkaran atau persegi panjang. Biasanya upa tendi diadakan di rumah atau balai- balai yang khusus untuk acara ini
2)      Kemudian orang yang akan di upa diminta duduk bersila di tengah- tengah lingkaran atau mengambil bagian lingkaran dengan menghadap para hadirin.
3)      Bahan  upa tendi yang telah dipersiapkan diletakkan di depan orang yang akan di upa- upa.
4)      Bila upa tendi masuk dalam perhelatan besar maka prosesinya dipimpin oleh seorang protokol. Namun apabila acaranya dalam skala kecil maka acaranya cukup dipimpin oleh si Pelantun upah tendi.
5)      Pembukaan oleh protokol. Kemudian orang yang punya rumah atau yang punya hajat menyampaikan sepatah dua patah kata kepada hadirin dengan maksud dimulainya acara.
6)      Berikutnya adalah acara inti, yang punya hajat mengupa- upakan orang yang di upa- upa dengan cara membacakan kalimat upa tendi, biasanya kalimat tersebut berupa do’a kebaikan dan keselamatan terhadap yang di upa- upakan, menghadapkan bahan upa tendi berupa makanan kepada orang yang di upa- upa.
7)      Si Pengupah melantunkan kalimat upah tendi.[20]
Di sini penulis belum mendapatkan contoh sajak syair untuk upa tendi pada orang yang mengalami musibah namun penulis menemukan contoh sajak syair yang menjadi doa dan nasehat pada acara upa tendi pernikahan (Markobar/ adat mandailing).

Adapun penggalan sajak syairnya seperti ini:
            Panyoruna tarsongon on ma:                         Dalam upah- upahnya kira- kira demikian:
            Najolo nigorar ho Sidalian,                            Dahulu dikasi namamu di Dalian
            Paboahon anak tubu,                                      Memberitahukan anak laki- laki telah lahir
            Hiras doho di hangoluan,                               Sehat kau dalam kehidupan ini
            Lopus ho dapotan jodu                                   Sampai menemui teman hidupmu

            Najolo nigorar ho si Butet,                              Dahulu diberi namamu si Butet
            Paboahon anak dadaboru,                             Memberitahukan lahir anak perempuan
            Hiras doho nada ruket,                                   Sehatnya kau tidak ringset
            Lopus ho dapotan jodu                                   Sampai engkau dapat jodoh

Songon parbontar ni bulung ni motung          Seperti putihnya daun motung, putih berdua warna
Bontar mardua rupa,                                      Hijau disebelah bawah tapi putih di sebelah atas
Rata dibutuhana, bontar di tanggurungna      Bertuahlah dan mendapat keuntungan kalian
Martua hamu jana maruntung,                       berdua
Ima sinta- sinta ni bayo pangupa,                   Itulah pengaharapan kami yang memberi upah- `                                                                 upah
Simbur laho magodang,                                  Cepat menuju besar dan lincah menuju tua.
peng- peng laho matua.

Truuuuuuupa- upa                                          Truuuuuuupa- upa
Truuuuuuuma tondi                                        Truuuuuuuma tondi

Horas!!! (3 noli).[21]                                          Horas!!! (3 kali)

8)      Diberilah Ulos, beras/ boras si pir ni tondi serta makanan khusus yang dibuat sedemikian rupa sebagai simbol ritual budaya. Hal ini bisa kami paparkan saat mengikuti sebuah adat Mangupaupa hula-hula kepada pihak bere- bere seorang tua dalam kondisi sakit-sakitan.
9)      Mulai dari hulahula, huta serta keluarga manulangi (menyuapi) semua hidangan yang disiapkan kepada yang sakit sembari mengucapkan permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan kesembuhan kemudian di ulosi dengan ulos yang terbaik agar Mulak Tondi Tu Ruma.
10)  Ngaloken cincin: pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari mama paman) ke bere-bere atau dari bibi ke paman.[22]

F.     Aspek Nilai/ Filosofis
Menurut pendapat beberapa ulama, selagi adat tradisi suatu suku itu tidak berbentuk ibadah bagi mereka maka tidaklah mengapa. Karena suatu amal ibadah yang dilakukan bukan berasal dari Rasulullah, maka ibadah itu tertolak.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW berbunyi:
Barangsiapa yang membuat- buat sesuatu dalam urusan kami maka sesuatu itu ditolak”. (H.R. Muslim).[23]
Adapun tradisi yang dipraktekkan oleh kalangan masarakat Karo meski sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen, namun tradisi tersebut berisikan nilai- nilai positif, diantaranya:
1.      Berisi nasihat
Nasihat secara khusus diberikan kepada orang yang di upa- upakan tendinya. Selain itu para hadirin yang ada di upacara yang mendengar nasihat juga merasakan dampak nasihat dari kata- kata upa tendi.
2.      Nilai do’a
Kata- kata dalam pengupahan tendi sarat dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Allah SWT (versi Islam Karo). Doa tersebut berisi permohonan, kesehatan dan keselamatan, kebahagiaan dan kejayaan bagi orang- orang yang di upa- upakan, keluarga dan para hadirin.
3.      Mempererat silaturrahim
Persiapan dan prosesi pelaksanaan acara upa tendi mengajarkan tradisi bersilaturrahim kepada anggota keluarga dan masyarakat. Pertemuan, gotong- royong, do’a bersama, makan bersama dan saling bercengkrama tentunya akan memupuk rasa persaudaraan yang tinggi di tengah- tengah masyarakat.
4.      Memupuk rasa syukur
Umat Islam di Karo yang dengan membuat acara ini dianjurkan untuk selalu ingat kepada Allah SWT dan bersyukur ats nikmat- Nya yang telah dilimpahkan. Dalam kegiatan ini juga terkandung pula makna pemupukan rasa syukur, senantiasa dianjurkan ingat kepada Allah SWT dan bertawakkal kepada- Nya.
5.      Elaborasi spirit
Secara ilmiah, pelaksanaan upa- upah pada tendi seseorang yang terkejut, terkena bencana/ penyakit mengandung unsur sugesti atau dorongan spiritual terhadap moral satu individu atau kelompok. Dampaknya akan terlihat apabila peserta benar- benar mengerti dan paham, menghayati serta merasa bagian dari pengupahan tersebut sehingga melahirkan semangat baru dalam mengarungi kehidupan.
  1. Kesimpulan
Kerajaan Haru- Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahu secara kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”.
Upa tendi adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar tendinya dapat kembali ke dalam tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma
Upa atau pun mangupaupa adalah tradisi budaya batak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, dari hula-hula kepada boru. Tradisi ini sudah diwariskan oleh nenek moyang kita sejak dulu yang dipercaya ritual memohon meminta Sahala (berkat) kepada Oppung Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) agar diberikan keselamatan/ sembuhan.
Akan tetapi umumnya pelaksanaan upa tendi ini lebih diutamakan terhadap orang yang selalu merasa gagal, putus asa dan lemah semangat hidupnya seperti pada waktu terkena kecelakaan, tertimpa musibah dan bencana. Orang tersebut tentunya merasa kehilangan semangat hidup, kehilangan orang- orang yang disayang dan kehilangan harta benda. Maka dari itu diupa- upa lah orang tersebut guna mengembalikan roh/ spirit yang hilang agar kembali lagi ke dalam tubuh dan menjadi spirit baru dalam menjalankan lembaran hidup baru yang penuh semangat. Dan bagi yang kehilangan harta benda, oleh pihak hula- hula diberikan modal (dahulu sebidang tanah) untuk membuka usaha.
Adapun tradisi yang dipraktekkan oleh kalangan masarakat karo meski sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen, namun tradisi tersebut berisikan nilai- nilai positif, di antaranya berisi nasihat, nilai do’a, mempererat silaturrahim, memupuk rasa syukur, dan yang paling penting adalah pengembalian dan elaborasi spirit.

Referensi:
Book:
Ø  Al- Farabi, Mohammad. 2010. Diktat MetodologiStudi Islam. Medan
Ø  Al- Qur’an danTerjemahnya. Semarang: PT. KaryaToha Putra Semarang
Ø  Dada Meuraxa. 1973. Sejarah Kebudayaan Suku- Suku di Sumatera Utara. Medan
Ø  Rudolf Pasaribu. 1988. Agama Suku dan Batakologi. Medan: Pieter.
Ø  Syahmerdan Lubis.1997. Adat Hangoluan Mandailing. Medan
Wawancara:
Ø  Kutipan wawancara dari saudari Nurul Muthma’innah, sem I/ BKI IV, IAIN- SU, asal Panyabungan- Mandailing
Ø  Kutipan wawancara dari saudara Agus- Padang Bulan.
Ø  Kutipan wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
Net:
Ø  http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
Ø  http://www.gobatak.com/mangupaupa-tradisi-doa-kesembuhan-dan-keselamatan/
Ø  www.mutiarazuhud.com/maulid-nabi-saw/?print=1
Ø http://lisakaban.blogspot.com/2010/06/asal-usul-etnis-dan-nama-karo.html
Ø  http://kita-kalak-karo.blogspot.com/2011/12/pakaian-adat-sejarah-dan-kediaman.html
Ø  http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2575/upacara-adat-upah-upah-memasuki-hidup-baru-bagi-masyarakat-rokan-hulu-propinsi-riau



[1] Surah Al- Hujurat : 13
[2] Muhammad Al- Farabi, Diktat Metodologi Islam, h. 68
[3] http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
[4] Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku- Suku di Sumatera Utara, h. 515
[5] Ibid, h. 554
[6] Ibid, h. 471
[7] Ibid, h. 341
[8] http://lisakaban.blogspot.com/2010/06/asal-usul-etnis-dan-nama-karo.html
[9] http://kita-kalak-karo.blogspot.com/2011/12/pakaian-adat-sejarah-dan-kediaman.html
[10] Kutipan wawancara dari saudari Nurul Muthma’innah, IAIN- SU, sem I/ BKI IV, asal Panyabungan- Mandailing
[11] http://limamarga.blogspot.com/2012/04/menguak-misteri-begu-ganjang.html
[12] Kutipan wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
[13] http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
[14] http://limamarga.blogspot.com/2012/04/menguak-misteri-begu-ganjang.html
[15] http://lailansn.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-batak-karo.html
[16] Kutipan wawancara dari saudara Agus- Padang Bulan
[17] Rudolf Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, h. 132.
[18] http://www.gobatak.com/mangupaupa-tradisi-doa-kesembuhan-dan-keselamatan/
[19] Kutipan wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
[20]http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2575/upacara-adat-upah-upah-memasuki-hidup-baru-bagi-masyarakat-rokan-hulu-propinsi-riau
[21] Syahmerdan Lubis, Adat Hangoluan Mandailing, h. 288
[22] Kutipan wawancara dari saudari Rosmana Brahmana Sembiring- Berastagi
[23] www.mutiarazuhud.com/maulid-nabi-saw/?print=1
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar