Senin, 24 Februari 2025

Menembus Batas

Desau angin di panas terik cukup membantu menghilangkan kegerahan siang itu.

"Pak Har, مِنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ (min aṡaris sujūd) itu baginya tak sebatas bekas fisik yang tampak (di kening), lebih dari itu, menurutnya lebih kepada laku perbuatan, tindak tanduk di kesehariannya membawa rahmat atau enggak bagi sekelilingnya", lanjut pak Jodi bercerita tentang pandangan salah seorang ulama kota ini. Aku mendengar sembari mengangguk-angguk sebagai tanda sependapat dengan apa yang ia bilang.

            Tidak sedikit orang memahami makna dari مِنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ (min aṡaris sujūd)[1], penggalan ayat 29 dari surat Al-Fatḥ tersebut sebatas tampilan fisik umumnya yang membekas di kening sebagai tanda bekas sujud karena efek keseringan ia melaksanakan salat adalah satu bentuk menandakan kesalihan dan ketakwaan seseorang. Padahal, memahaminya tak sesempit itu. Al-Asyqar menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah wajah yang terlihat berseri-seri dan teduh serta menampakkan cahaya.[2] Hal itu menurut As-Sa’di dihasilkan dari banyak serta baiknya ibadah yang seorang hamba lakukan itu membekas di wajahnya hingga bersinar karena batinnya bersinar disebabkan salat, maka lahirnya juga bersinar.[3] Dengan kata lain lahir yang dimaksud adalah tak sebatas bekas hitam yang muncul pada keningnya melainkan kepada perbuatan di kesehariannya bak cahaya atau tidak. Sifatnya cahaya adalah menyinari, begitu pula dengan laku perbuatannya hendaknya membawa rahmat, dengan begitu ia menjadi suluh kehidupan bagi sekelilingnya.

Beberapa jenak kemudian pesanan kami pun datang.

"Yok pak, makan kita dulu, abis ini, bapak lanjut lagi, sor kali awak", ajak ku.

Cuaca Medan akhir-akhir ini tak menentu, kadang panas, kadang mendung, tepat hari sewaktu kami makan di daerah Jl. Bromo panasnya mencapai 33° Celcius, tiada lain tiada bukan obat penyegar cuaca panas khas Medan adalah Teh Manis Dingin, Mandi biasa orang kota ini menyebutnya.

Saat kami ngobrol tentang perkara agama tentunya melanjutkan pembahasan yang menggantung sebelum makan tadi, tampak di ujung parkiran sesosok agak tambun dan rambut hampir seluruhnya memutih itu yang tak asing bagi kami datang mendekat.

Assalᾱmu ‘alaikum Ongah, pak Jodi’, sapanya.

‘Alaikum salᾱm”, jawab kami serempak.

“Eh, wak, dari mana?”, sambungku.

Dari rumah Ngah, mau jemput budak-budak[4] tuh, rupanya setengah jam lagi, nampak ku pas lewat tadi kelen di sini, singgahlah aku”, jawabnya dengan satu tarikan napas laiknya ijab kabul sewaktu akad nikah, hahaha.

“Oh...”, jawab kami singkat.

Ramzani namanya, tetapi kami lebih sering memanggilnya Wak Poken, entah karena ia yang berasal dari Labura sana yang menyebut kata Pekan dengan sebutan Poken dan ia sering nongkrong di Pekan atau memang orang Pekan/Poken, makanya sebutan itu melekat pada nama panggilannya, yang jelas setahu kami orang memanggilnya Wak Poken. Karena pengaruh beliaulah kami sekarang lebih suka menghabiskan waktu di Warkop saat setelah tak ada lagi jam mengajar dan sembari menunggu jam absen pulang tiba.

Ia pun duduk dan memanggil pelayan Warkop, “Eh dek, kasih uwak Pancung[5] satu yo”, katanya memesan.

Biasanya Sanger[6] Dingin wak?”, jawab si adik pelayan.

“Iyo, lagi batuk uwak dek”, balas Wak Poken.

“Itu aja wak?”, tanya si adik pelayan kembali.

“Iyo dek, itu aja dulu”, jawab Wak Poken.

“Oke wak, sebentar lagi awak antar ya wak”, jawabnya melayani. Wak Poken menjawabnya dengan anggukan.

Kami ngobrol dengan asik mulai perkara agama, pendidikan, ekonomi sampai nyerempet ke yang berbau politik, walau tak menunjukkan keberpihakan ke paslon mana pun – karena sadar dengan kode etik kepegawaian – pembahasan  politik di warung kopi tak dapat dielakkan. Hingga sampailah Wak Poken membahas keterkaitan agama, pendidikan, ekonomi dan politik tersebut – bak dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan – dengan tujuan Tuhan menugaskan manusia pertama turun ke bumi adalah menciptakan peradaban yang berkeadaban.

“Nabiyullah Adam a.s. diturunkan ke bumi bukan karena dosanya memakan buah Khuldi[7], itu hanya asbab. Memang sudah skenario-Nya Tuhan supaya penghuni bumi berperadaban yang berkeadaban melalui dia", jelas Wak Poken sembari menyeruput kopi terakhirnya. Sesekali bekas serbuk kopi yang lengket di giginya yang tak lengkap itu dikecap-kecapnya. Aku hanya mendengarkan penjelasannya dengan khidmat dan sesekali mengernyitkan dahi.

Beberapa jenak kemudian ia pamit, "Okelah Ngah, uwak jomput anak dulu yo,". "Yo wak", kata ku singkat sambil tersenyum sembari memberi kode oke dengan tangan.   

“Duluan aku yo pak Jodi”, pamitnya juga dengan pak Jodi.

“Ya, pak, إِلَى اللِّقَاءِ، مَعَ اللسَّلَامَةِ (ilal liqᾱ’, ma’as salᾱmah)[8]”, balas pak Jodi.  

⭐⭐⭐

Hujan tetiba turun begitu saja tanpa kode apapun. Biasanya ditandai dengan langit mendung, karena malam tentu langit tak akan tampak mendung. Hanya saja, gemintang tak kelihatan tebar pesona dan tak selamanya pula angin bertiup lebih dulu baru hujan. Ya begitulah sifat Jaiz-Nya Tuhan, Dia berkehendak dengan kehendak-Nya, segala sesuatu terjadi sesuai dengan titah-Nya, tak selamanya mendung berarti hendak hujan, dan tak selamanya pula saat panas terik hujan tak akan turun, bisa saja hujan turun, makanya ada istilah hujan panas. Begitulah kira-kira penjelasan Muallim ku dulu sewaktu menerangkan tentang sifat Jaiz-Nya Tuhan.

Sadar bahwa hujan telah turun, aku pun serta-merta memanjatkan doa dalam hati, أَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا (Allᾱhumma ṣayyiban nᾱfi’an)[9]. Masih di dalam lamunan ku, sembari mengamati hujan turun, aku menjadi sangat kagum dengan Penciptanya. Bagaimana mungkin hasil proses kondensasi ini, air laut yang awalnya asin menjadi tawar? Kerja siapa yang seapik ini kalau bukan kerja-Nya. Dan aku pun tepekur, larut dengan ketakjuban pada malam itu.

"Sepertinya, i'm falling in love bro", aku mulai buka obrolan, membuyarkan lamunan Indul. Ternyata kami sama-sama larut dengan lamunan masing-masing di sebuah warkop Jl. Gaperta Ujung.

"Sama siapa?", sahutnya.

"Hujan", jawabku singkat. “Terutama Penciptanya”, sambung ku.

"Eh, لِمَاذَا (limᾱżᾱ)?", tanyanya lagi penasaran.

"... وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ(waja’alnᾱ minal mᾱ-i kulla syai-in ḥayyin)[10]...", ku jawab sekenanya.

"Selain itu?", burunya lagi.

"Nanti kau baca aja bukunya Maurice Bucaille; La Bible, le Coran et la Science, penjelasannya ada di situ", ku jawab lagi sembari mata ku tak bisa berpaling dari butiran air suci lagi menyucikan itu jatuh menghempas bumi dengan indahnya, "and, his voice is, you know, melodious", sambungku.

"Sok puitis kau ulamak[11]", jawabnya dengan setengah meledek.

Begitu malam yang indah dan syahdu ketika Tuhan menganugerahi cinta dengan ذَوْقٌ (żauqun atau familiarnya disebut żuq)[12] yang tak bisa dilukiskan dengan kata, hanya pujian kepada-Nya spontan terucap, مَا شَاءَ اللهُ (mᾱsyᾱ-allᾱhu).

Ketika jam menunjukkan pukul 00.24 dini hari, hujan tak kunjung reda, akhirnya aku dan Indul nekat menerobos derasnya hujan malam itu, tanpa mantel, hanya pakaian sepasang yang membungkus badan, baju kaos dan celana panjang. Wah, di tengah gemeretuk gigi kami masing-masing menahan dinginnya air hujan dini hari, bukan menjadi masalah berarti, malah kami laiknya anak kecil, menjeda gemeretuk gigi dengan teriakan-teriakan kecil, “wuw...”, berkali-kali, nyaris sepanjang jalan menuju pulang, dengan senangnya.

Sesaat ban sepeda motor Indul membelah riak-riak kecil becek di jalanan, aku jadi teringat sebuah kisah kocak Syekh Nashruddin Hoja.

Di suatu hari hujan turun di kampung Syekh Hoja, lamat-lamat Syekh Hoja melihat ada orang berlari menghindari air hujan, seraya berujar dari atas loteng kediamannya, "hei tuan, kenapa engkau berlari menghindar dari hujan?", dengan lugunya orang yang ditegur oleh Syekh Hoja menjawab, "kalo gak menghindar bisa basah syekh". Lantas dijawab sang syekh, "bukankah hujan itu Rahmat Tuhan, kenapa kau hindari?". Dengan wajah kebingungan orang itu pun berjalan pelan hingga kuyup.

Di hari yang lain saat hujan, keadaan terbalik, Syekh Hoja pula yang kehujanan, berlari menghindari hujan. Lantas ditegur oleh orang yang kehujanan sebelumnya, "hei Syekh, kenapa engkau malah menghindari hujan, bukankah kau kemarin bilang bahwa hujan itu Rahmat Tuhan? Kalo dihindari berarti menghindar dari Rahmat Tuhan”. Sambil berlari-lari kecil seraya menghindari hujan Syekh Hoja menimpali, "memang iya, tapi kan tak sopan menginjak-injak Rahmat Tuhan”. Lalu selamatlah sang Syekh dari basah kuyup. Orang tersebut pun dengan wajah polos berkata dalam hati, "iya pulak".

Mengingat kisah itu aku tersenyum sendiri dan tak terasa sudah masuk ke tikungan gang menuju rumah. Indul mengantarkan ku hingga depan pintu rumah. Saat setelah aku turun, dengan kode klakson pertanda pamit, ia langsung memutar arah dan memacu laju sepeda motornya menyibak derasnya hujan. Sialnya, kunci rumah tak ku bawa, dengan sabar aku mengetuk pelan daun pintu seraya menelpon istri dengan harapan ia lekas mengangkat panggilan telpon ku dan tak lama membukakan pintu, sebab aku sudah kedinginan.

⭐⭐⭐

Waktu menunjukkan pukul 09.15 pagi, bel istirahat pertama pembelajaran memecah lamunan ku saat giliran piket. Eh, sebetulnya lebih tepat kontemplasi deh, yaelah. Kenapa begitu? Sebab, aku tepekur dengan 2 keterkaitan antara isi obrolan ku yang lalu bersama pak Jodi tentang makna luas dari  مِنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ (min aṡaris sujūd) – sebelum Wak Poken join – dengan penjelasan Wak Poken kepada ku dan pak Jodi tentang tujuan Tuhan menugaskan manusia pertama turun ke bumi adalah menciptakan peradaban yang berkeadaban – setelah Wak Poken join.

Lama aku merenung guna mencari benang merah keduanya yang barangkali menghasilkan konklusi berupa pesan moral atau hikmah. Bak ilham yang masuk, aku tersenyum, dapat nih, pikir ku. Mumpung lagi buka Laptop, langsung ku ketikkan agar tak lupa.

Pertama, tujuan Tuhan menugaskan manusia pertama turun ke bumi adalah menciptakan peradaban yang berkeadaban. Ini merupakan tantangan seorang guru di era digitalisasi saat ini ketika ia diutus oleh Tuhan melalui panggilan hati bahwa harus mampu menciptakan peradaban yang berkeadaban baik di dalam maupun luar sekolah. Di dalam lingkungan sekolah, idealnya guru dapat membentuk karakter siswa, mengajarkan keterampilan sosial, menciptakan iklim belajar yang nyaman, menanamkan kebersihan lingkungan, dan membantu siswa menemukan jati diri.  Sedangkan, di luar sekolah, guru membantu anak yang putus sekolah – tak dapat membantu secara materil, bantuan moril sudah memadai – untuk  melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, menjadi teladan, model, dan mentor bagi anak didik serta membentuk sikap dan moralitas anak didik. 

            Kedua, makna luas dari  مِنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ (min aṡaris sujūd). Sebagaimana tafsir dari penggalan ayat ini bahwa bekas sujud tersebut terlihat melalui wajah yang berseri-seri dan teduh serta menampakkan cahaya karena batinnya bersinar disebabkan ibadah salat, maka lahirnya juga bersinar. Ini menjadi peluang bagi guru di zaman digitalisasi saat ini dalam menjadi role model bagi muridnya. Jadi, guru itu laksana suluh penerang di tengah kegelapan, tanpa kehadirannya yang setia mendidik dan mengajarkan kebaikan, murid tak akan pernah tahu arti kehidupan yang sesungguhnya. Benarlah kata pepatah Arab mengatakan bahwa, لَوْلَا الْعِلْمُ لَكَانَ النَّاسُ كَالْبَهَائِمِ (Laulal ‘ilmu lakᾱnan nᾱsu kalbahᾱ-im), artinya: Kalaulah manusia tidak mau belajar ilmu pengetahuan (melalui guru), maka jadilah ia seperti hewan ternak.       

Wallᾱhu a’lamu biṣṣawᾱb



[1]Artinya: Dari bekas sujud.  

[2]Lihat Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Zubdatut Tafsῑr min Fatḥil Qadῑr (Kuwait: Kementerian Wakaf dan Urusan-urusan Islam, 1985) atau di https://tafsirweb.com/9741-surat-al-fath-ayat-29.htmlr.  

[3]Lihat Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, Taysῑr al-Karῑm al-Raḥmᾱn fῑ Tafsῑr al-Kalᾱm al-Mannᾱn (Riyad: Maktabah Dᾱr as-Salᾱm li an-Nasyri wa at-Tauzῑ’, 2013) atau di https://tafsirweb.com/9741-surat-al-fath-ayat-29.html.

[4]Anak-anak.

[5]Penyajiannya yang hanya setengah cangkir, mirip dengan dipotong atau dipancung. Lihat selengkapnya di https://www.rri.co.id/kuliner/801114/budaya-minum-kopi-pancong-cara-beda-ngopi-di-aceh.

[6]Minuman khas Aceh yang sudah sangat familiar di Medan terbuat dari perpaduan kopi, susu kental manis, dan gula. Kata Sanger menurut info yang ku dapat adalah akronim dari sama-sama ngerti. Istilah ini merujuk pada permintaan pelanggan ke pemilik warung kopi untuk mengerti bahwa kantong pelanggannya minim. Ya, jadinya sama-sama ngerti ajalah ya kan, kek mana bisa minum kopi enak nan lemak pake susu dan gula dengan budget minim.

[7]Rentetan peristiwa buah Khuldi dapat dibaca pada Q.S. Ṭᾱhᾱ dari ayat 117 s/d 123 beserta artinya, lebih bagus lagi baca pula tafsirnya.

[8]Artinya: Sampai jumpa, sampai ketemu kembali.

[9]Artinya: Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat.

[10]Lihat Q.S. Al-Anbiyᾱ’ ayat 30. Penggalan ayat di atas artinya adalah Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.

 [11]Panggilan sesama kami – pelajar putra – sejak masa SMA, sungkan memanggil dengan menyebut nama, begitulah tutur bahasanya. Panggilan ulamak itu dari Muallim (guru) kami yang di dalamnya terselip doa dan harapan semoga kami juga bisa menjadi ulama, melanjutkan estafet keilmuan dan kealiman mereka, Muallim (guru) kami.  

[12]Artinya: rasa.  

NB: Tulisan ini pernah diikutkan lomba Hari Guru tahun 2024. 


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar