A.
Pengertian
Urgensitas
kepemimpinan dalam mengoperasionalkan organisasi mempunyai peranan yang sangat
mendasar dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Karena aktivitas pemimpin
berusaha memengaruhi, membimbing dan mengarahkan orang lain untuk bekerjasama
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Sebagai awal pemahaman,
dikemukakan pengertian kepemimpinan untuk dapat membangun struktur kognisi
tersendiri dengan berdasarkan pada beberapa pengertian menurut para ahli.
Kepemimpinan
menurut Winardi ialah mengartikan usaha untuk memengaruhi orang antar
perorangan lewat komunikasi untuk mencapai beberapa tujuan. Maka wajarlah jika
gaya kepemimpinan itu diterjemahkan dengan cara seorang pemimpin lewat
komunikasinya untuk memengaruhi orang lain dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi/lembaga.[1]
Sejalan
dengan Winardi, Good juga member pengertian bahwa kepemimpinan adalah “The
anality and readiness to inspire, guide, direct, organisasi manage other”.
Artinya, kepemimpinan merupakan suatu kemampuan seseorang untuk memengaruhi,
membimbing dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mau berbuat demi
tercapainya tujuan bersama.[2]
Dari pengertian yang dikemukakan oleh Good ini seseorang yang ingin diakui
sebagai pemimpin harus memiliki kelebihan dalam berbagai fungsi yang
dieksplisitkan di atas yakni: memengaruhi, membimbing sampai pada kemampuan
mengelola orang lain. Di samping itu konsep tersebut juga mengimplisitkan
adanya kemampuan mengelola orang lain yang disertai perasaan penuh semangat dan
kepercayaan. Semangat mencerminkan kegairahan dalam bekerja, penuh kesungguhan
dan intensitas dalam pelaksanaan kegiatan. Kepercayaan merefleksikan pengalaman
dan kemampuan teknis yang dimiliki.
Lain
halnya dengan Ahmad Sabban mendefenisikan kepemimpinan merupakan suatu tema
yang tidak hanya actual disaat tertentu seperti menjelang pemilihan pemimpin,
seperti pemilihan presiden dan sebagainya.[3]
Membicarakan kepemimpinan sangat penting, sebab setiap orang adalah pemimpin
yang telah diberikan amanah yang harus dijalankan secara benar. Implementasi
kepemimpinan menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga senantiasa lekat
dengan kehidupan manusia dalam setiap waktu, tempat dan keadaan. Oleh
karenanya, dalam event-event pemilihan pemimpin, kepribadian pemimpin yang
berkompetisi perlu dikenali lebih mendalam agar terwujud kepemimpinan yang
bagus dan bersih (good and clean government).
Sedangkan
menurut Quraish Shihab adalah kepemimpinan yang telah dipikul seseorang itu
harus bisa menjadi teladan oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan
dalam membimbing masyarakatnya.[4]
Dalam artian Quraish memperoleh kesan bahwa seseorang yang mengemban amanah
kepemimpinan tersebut bukan hanya harus mampu menunjukkan jalan meraih
cita-cita rakyat yang dipimpinnya, tetapi juga harus dapat mengantarkan mereka
ke pintu gerbang kebahagiaan. Seorang pemimpin tidak sekedar menunjukkan,
tetapi mampu memberi contoh aktualisasi, sebagaimana halnya dengan seorang imam
di dalam sholat.
Begitu
banyaknya pengertian kepemimpinan yang telah disebutkan di atas, namun dapat
dipahami bahwa tujuan dari kepemimpinan itu semua adalah sama yakni sama-sama
mengedepankan kemaslahatan hajat hidup orang banyak. Tetapi dalam makalah
singkat ini pemakalah batasi pada beberapa hal saja yang melingkupi kepribadian
seorang pemimpin berdasarkan asas-asas qur’ani.
B.
Kepribadian
Pemimpin Islami
Umat
Islam secara normative memiliki kriteria kerpibadian pemimpin yang dijelaskan
secara tegas dalam firman Allah. Mengingat kepribadian pemimpin telah digariskan
dalam firman Allah, maka umat Islam harus merujuk kepada ketentuan tersebut
dalam memilih seorang pemimpin. Kepribadian yang dimaksud, antara lain adalah:
Pertama,
Mencintai kebenaran dan Hanya Takut Kepada Allah
Sikap ini mutlak harus dimiliki
seorang pemimpin. Berdasarkan criteria ini, maka yang pertama harus
diperhatikan dalam memilih pemimpin adalah apakah pemimpin yang akan dipilih
itu mencintai kebenaran dan memiliki rasa takut kepada Allah SWT? Hanya
pemimpin yang memiliki loyalitas keimanan yang memiliki kepribadian yang tegas
dalam menjalankan kebenaran dan keadilan, sebab ia hanya takut kepada Allah.
Kepribadian pemimpin yang cinta
kebenaran dan takut kepada Allah, tentunya akan melahirkan sikap mencintai keadilan
dan kejujuran. Sikap tersebut menjadi rangkaian yang saling menyatu dan sangat
penting dalam mewujudkan efektivitas kepemimpinan.[5]
Firman Allah dalam Alqur’an surat Al-Maidah ayat 8 menyebutkan:
(8) ٱعْدِلُوا۟هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ...
Artinya:
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Karena itu
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”[6]
Syeikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni di dalam tafsirnya menjelaskan kata “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa”maksudnya adalah berlaku adil terhadap orang-orang yang kamu
benci, lebih dekat kepada ketakwaanmu kepada Allah. Dalam artian ialah keadilan
itu tak hanya berpihak pada orang-orang yang kamu sukai melainkan juga berpihak
pada orang-orang yang kamu benci, maka dengan itu penilaian Allah kepadamu
dalam berlaku adil hingga mendekatkanmu kepada ketakwaan. “Karena itu bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”. Allah mengetahui amal-amalmu, lalu Allah akan
membalas kamu atas amal-amal itu.[7]
Az-Zamakhsyari
memberi komentar bahwa, “Ayat ini merupakan peringatan besar bahwasanya berlaku
adilpun harus diterapkan terhadap orang kafir yang notabenenya adalah
musuh-musuh Allah yang jelas kamu benci, tentunya kewajiban bebuat adil harus
lebih ditekankan kepada orang-orang mukmin yang mereka adalah
kekasih-kekasihnya.[8]
Kedua, Dipercaya
dan Mempercayai Orang Lain
Dipercaya
dan dapat mempercayai orang lain adalah kepribadian kedua yang harus
diperhatikan dalam memilih pemimpin. Dipercaya orang lain merupakan manifestasi
dari kepercayaan orang lain terhadap kepribadiannya sebagai pemimpin yang mampu
melaksanakan kepemimpinan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kepercayaan
masyarakat muncul kepada pemimpin, karena rakyat secara luas telah menikmati hasil
kepemimpinan yang berlangsung. Artinya, bukan sekedar retorika melainkan sudah
teruji nadanya. Kepercayaah inilah yang tak bisa diukur dan materi.
Ketiga, Memiliki
Wawasan dan Kecerdasan
Sangat
sulit diterima akal jika pemimpin suatu bangsa tidak memiliki wawasand dan
tingkat intelegensi serta pendidikan yang cukup memadai. Maka akan sulit
dimintai pandangannya dalam memberikan solusi yang tepat terhadap krisis
bangsanya. Anehnya, kenyataan yang sering terjadi pemimpin justru memiliki
tingkat pendidikan yang rendah dari sebagian besar rakyatnya. Ini sangat
potensial untuk menimbulkan terjadinya konsistensi kebijakan yang efektif
karena adanya intervensi dan bisikan-bisikan eksternal. Tidak hanya itu,
wawasan dan kerjaan tersebut harus dilandasi dengan iman dan takwa kepada
Allah.
Keempat, Visioner,
Setiakawan, Kreatif dan Inisiatif
Seorang
pemimpin menempati posisi utama dan dambaan sebagai figur tempat meletakan yang
dipimpinnya. Harapan itu hanya dapat dipenuhi jika pemimpinnya visioner,
kreatif dan penuh memiliki inisiatif untuk maju. Dalam hal ini pemimpin harus
merasakan bahwa aktifitasnya adalah bagian dari pengabdian terhadap orang-orang
yang dipimpinnya. Pemimpin berbuat dan bekerja semata-mata untuk kepentingan
bersama atas dasar rasa kesetiakawanan karena menyadari bahwa keberhasilan
kepemimpinannya tergantung respon dan dukungan dari semua pihak. Begitupun,
inisiatif dan kreatifitas dalam memajukan dan membangun bangsanya haruslah
tetap konsisten berada dalam lingkup menaati perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
Kelima, Bertanggung-jawab,
Konsekuen, Disiplin dan bijaksana
Pemimpin
merupakan motor penggerak utama dalam sebuah struktur kepemimpinan dan untuk
melakukan itu diperlukan kecerdasan dan kecepatan dalam mengambil keputusan.
Keputusan yang cepat dan tepat sangat diperlukan dalam menghadapi kondisi yang
mendesak dan kritis. Pemimpin tidak sekedar dituntut keberaniannya dalam
mengambil keputusan, tetapi harus bertanggung-jawab atas dalam menyelesaikan
permasalahan.
Pengalaman
empiris negeri ini, dalam suasana negara yang genting justru pemimpinnya
mengambil keputusan yang secara kacamata polititk hanya menguntungkan pribadi
dan golongan saja dan bahkan tak jarang keputusan itu lebih mendahulukan
fasilitas pribadi yang mewah dan itu menggunakan anggaran Negara. Tentu kita
tidak menginginkan hal itu terus terjadi. Islam menghendaki agar memilih
pemimpin yang kinerjanya dapat memenuhi hajat rakyat banyak. Dalam islam,
pemimpin bukan hanya memiliki sekedar kemampuan manajerial dan instruktif.
Lebih dari itu, yang paling penting adalah kepemimpinan yang orientasinya
mencapai keridhoan Ilahi. Itu hanya akan terwujud jika mayoritas umat Islam
memilih pemimpin yang mengedepankan kepribadian yang telah ditegaskan dalam
Al-qur’an dan Sunnah.
C.
Memimpin
dengan Hati
Memimpin
atas dasar hati adalah kepemimpinan yang berlandaskan ketulusan dan efeknya
berupa lahirnya kekuatan yang disebut sebagai kekuatan cinta (the power of
love). Dengan kekuatan cinta seorang pemimpin diharapkan akan menyayangi,
memperhatikan dan mengutamakan lembaga, organisasi, perusahaan ataupun rakyat
yang dipimpinnya. Atas dasar kekuatan cinta juga diharapkan pemimpin akan
bekerja dengan keikhlasan dan bertekad untuk melakukan yang terbaik dengan
pengorbanan, komitmen, kebersamaan, idealisme, ketekunan dan konsisten.
Memimpin
dengan menggunakan hati berarti melakukan segala tindakan dan aktivitas dalam
rangka memimpin atas dasar cinta sehingga keikhlasan dalam berbuat akan mudah
didapatkan dan kecanggungan serta kemalasan tidak sempat mengambil posisi.
a. Memimpin
atas Dasar Cinta
Seorang
pemimpin yang memimpin atas dasar cinta dapat dipastikan akan menikmati
kepemimpinannya, karena cinta bagi dirinya adalah kenikmatan. Ada pepatah yang
mengatakan “The greatest pleasure of life
is love” yang artinya kenikmatan terbesar dalam hidup adalah cinta. Maka kenikmatan
bagi dirinya bukanlah memanfaatkan status demi kesenangan pribadi, tetapi ia
merasakan kenikmatan jika dia mampu memberikan kebahagiaan dan kepuasan kepada
rakyat atau bawahannya.[9]
Bagi
seorang pemimpin yang mengutamakan cinta dalam memimpin rakyatnya atau
bawahannya, ia merasa tidak bahagia jika tidak dicintai dan mencintai rakyatnya
sebagaimana pepatah juga mengatakan “Life
is less than nothing without love” yang artinya hidup tanpa cinta lebih
parah dari sekedar hidup tak berarti. Oleh karena itu, wajar saja jika
dikatakan bahwa cinta adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari sesuatu. Untuk
mendapatkan cinta dari bawahan atau
rakyatnya, seorang pemimpin harus memperhatikan bawahan atau rakyatnya,
berusaha memuaskan mereka dan berusaha
memenuhi keinginan mereka. Sebagai seorang pemimpin, mendengar keluhan dan
ratapan rakyat adalah merupakan keharusan.
b. Figur
Pemimpin Sejati
Seorang
pemimpin yang berlandaskan cinta dalam memimpin rakyat atau bawahannya tentunya
akan tampil sebagai pemimpin sejati yang mempunyai tujuan. Untuk mencapai
tujuan tersebut, ia melakukannya dengan penuh gairah, membentuk dan menerapkan
nilai-nilai yang tergambar dalam perilaku sang pemimpin. Ia akan menggunakan
hati dengan penuh rasa sayang, mempunyai hubungan yang mesra dengan semua pihak
dan mempunyai disiplin yang konsisten dijalaninya.[10]
c. Memimpin
dengan Kecerdasan Emosional
Seorang
yang memimpin atas dasar cinta mestilah mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi,
sehingga dia mampu mengelola diri sendiri dan menjalin hubungan dengan pihak
lain secara efektif. Seorang pemimpin yang mempunyai kecerdasan emosional
mestilah orang yang mempunyai kecerdasan emosional itu sendiri. Ia mampu
menilai dirinya secara akurat, serta mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Pemimpin
demikian juga mesti pula mempunyai kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri,
jujur, bersikap hati-hati, mudah beradaptasi, mempunyai inisiatif serta
berorientasi kepada prestasi.
Kemampuan lainnya yang mesti
dimiliki oleh pemimpin dengan kecerdasan emosional yang tinggi adalah mempunyai
kecerdasan sosial yang dicirikan dengan empati yang tinggi, adanya kesadaran terhadap
organisasi dan mempunyai jiwa kepelayanan terhadap rakyatnya. Hal terakhir yang
mesti dimiliki adalah keterampilan sosial
yang ditandai dengan kepemimpinan yang visioner, komunikasi yang baik,
kemampuan yang membentuk dan menggerakkan tim-tim kerjasama serta mampu memimpin
dalam melakukan perubahan.
Harapan kita semua tentunya kepada
pemimpin yang sekarang maupun yang akan datang baik pemimpin nasional maupun
pemimpin daerah agar mau mengguanakan hatinya. Mereka hendaklah seorang pemimpin
yang mengerti kesulitan, kesusahan, tangisan dan ratapan rakyatnya, kita tidak
berharap dan tidak pernah ingin pemimpin yang hanya tahu akan kepentingan
dirinya. Tidak pula yang matanya buta melihat penderitaan rakyatnya, telinga
yang tuli mendengarkan jeritan rakyatnya dan hati yang tertutup ketika
merasakan sakit yang dialami rakyatnya.
D.
Tanggung
Jawab Pemimpin
Tanggung
jawab para pemimpin sangat besar. Sangat besar bahayanya apabila mereka
melalaikan amar ma’ruf nahi munkar, karena
mereka memiliki wewenang dan kekuasaan. Mereka memiliki kekuatan untuk
memberlakukan apa yang mereka perintahkan dan larang serta memaksa manusia
untuk melakukannya. Pengingkaran orang-orang yang berbuat maksiat tidak
dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan karena kekuatan dan senjata ada di
tangan mereka, sementara manusia masih menghargai perintah dan larangan seorang
pemimpin. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, “ Orang-orang yang bisa diatur oleh kekuasaan lebih banyak daripada yang
bisa diatur dengan Al-qur’an.”[11] Yaitu
banyak manusia yang tidak terpengaruh dengan nasihat dan petunjuk sehingga
mereka tidak takut untuk menyalahi dan tidak tunduk kepada kebenaran, sementara
mereka merasa takut jika seorang penguasa mengacungkan tongkat dan
memperlihatkan kilatan pedangnya.
Begitupun
kewajiban seorang muslim dalam menaati pemimpinnya bukan berarti seorang muslim
boleh mematuhi mereka dalam kemaksiatan terhadap Allah SWT karena taat dan
patuh kepada Allah didahulukan atas ketaatan kepada mereka, sebagaimana
firman-Nya dalam surat Al-mumtahanah ayat 12:
...وَلا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ...
Artinya:
“Dan ia sekali-kali tidak mendurhakaimu
di dalam hal yang ma’ruf.”[12]
Rasulullah
SAW juga bersabda, “Mendengar dan patuh
adalah kewajiban seorang muslim di dalam hal yang ia suka atau ia tidak suka
selagi tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah. Maka apabila ia
diperintah untuk bermaksiat, tidak ada kewajiban mendengar ataupun menaati.”[13]
Jika
seorang pemimpin melalaikan akan hal itu, maka dia telah mengkhianati amanah
yang diembankan oleh Allah di atas pundaknya serta mereka telah menyia-nyiakan
rakyatnya yang Allah SWT titipkan kepada mereka.
E. Penutup
Begitu
banyak defenisi-defenisi kepemimpinan yang ditelurkan oleh banyak ahli tetapi
tetap saja inti dan tujuan dari kepemimpinan itu adalah mengedepankan
kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan senantiasa berupaya
melakukan program-program kepemimpinan dengan penuh cinta dan keikhlasan sehingga
kesejahteraan dan kebahagiaan akan dapat terwujud dengan sendirinya. Tetapi hal
yang paling urgen dari itu semua adalah kepemimpinan Islam harus berdasarkan apa
yang telah ditegaskan Allah SWT di Al-qur’an dan disebutkan Rasulullah melalui
haditsnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Jabir, Pedoman Pedoman Hidup Seorang Muslim, tt, PT. Megatama Sofwa Pressindo, Medan
Ahmad Sabban Rajagukguk, Berdialog dengan Tuhan, 2009,
Citapustaka Media Perintis, Bandung
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Mesiono, Manajemen Organisasi , 2012, Citapustaka Media Perintis, Bandung
Mushtafa Dieb dan Muhyidin Mistu, Al-wafi: Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, 2013, Pustaka Al-kautsar, Jakarta Timur
M. Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, 2011, Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta Timur
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi , 2006, Lentera
Hati, Jakarta
Winardi, Asas-asas Manajemen, 1990, Mandar Madju, Bandung
Zulkarnain Lubis, Memimpikan Indonesia Baru, 2006,
Citapustaka Media Perintis, Bandung
[1]
Winardi, Asas-asas Manajemen
(Bandung: Mandar Madju, 1990), h. 58
[2]
Mesiono, Manajemen Organisasi
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2012), h. 59
[3]
Ahmad Sabban Rajagukguk, Berdialog dengan
Tuhan (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 151
[4]
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 387
[5]
Ahmad Sabban Rajagukguk, Berdialog dengan
Tuhan, h. 152
[6]
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
h. 144
[7]
M. Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir
(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2011), jil. 2, h. 16
[8]
Ibid, h 17
[9]
Zulkarnain Lubis, Memimpikan Indonesia
Baru (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2006), h. 201
[10]
Ibid, h. 202
[11]
Mushtafa Dieb dan Muhyidin Mistu, Al-wafi:
Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, (Jaktim: Pustaka Al-kautsar, 2013),
h.333
[12]
DEPAG RI, Al-qur’an dan Terjemahnya,
h.804
[13]
Abu Bakar Jabir, Pedoman Hidup Seorang
Muslim, (Medan: PT. Megatama Sofwa Pressindo, tt), h. 115