Jumat, 14 Maret 2014

Membangun Kesejahteraan Umat



Pengertian
Kata sejahtera memiliki beberapa arti. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk pada  keadaan yang baik; kondisi  saat orang-orang dalam keadaan terkait dengan pandangan hidup yang makmur. Dalam ekonomi, kata sejahtera terkait dengan pandangan hidup yang menjadi landasannya. Kapitalisme atau sosialisme mengukur kesejahteraan dengan capaian-capaian material ( misalnya produk domestic bruto perkapita), walaupun mereka berbeda tentang cara distribusinya.
Beberapa Negara barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada pelayanan Negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat bahkan hal ini lebih spesifik lagi pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial, yakni yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Islam mendefinisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang dapat mewujudkan semua tujuan (maqashid) syari’ah, yakni:
1.      Terlindung kesucian agamanya
2.      Terlindung keselamatan dirinya
3.      Terlindung akalnya
4.      Terlindung kehormatannya
5.      Terlindung hak milik/hak ekonominya.[1]
Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem ekonomi. Kesejahteraan adalah juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari sistem-sistem ini sangat menentukan dalam memberikan warna sejahtera seperti apa yang akan diwujudkan, dan apakah sejahtera seperti itu akan bertahan lama atau berlaku secara universal.
A.    Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Hukum
Surat an-Nisa’ menyebutkan bahwa sumber hukum dalam Islam yang wajib dijadikan referensi di dalam segala tindakan dan hukum mereka, yaitu:
Pertama, Al-Qur’anul Karim, mengamalkannya merupakan ketaatan kepada Allah.
Kedua, Sunnah Rasul, baik qauliyah (perkataan) maupun fi’liyah (perbuatan) . mengamalkannya adalah ketaatan kepada Rasul.
Ketiga, Pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi di dalam umat. Mereka terdiri atas ulama’ dan orang-orang yang bertanggung jawab tentang kemaslahatan umum, seperti tentara, para petani, industriawan dan pendidik yang semuanya menangani bidangnya masing-masing. Mengamalkan pendapat mereka adalah ketaatan kepada Ulil Amri.
Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat 59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]
Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 59 tersebut adalah perintah wajib yang Allah Ta’ala lontarkan kepada umat islam berupa taat kepada-Nya dan Rasul-Nya dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadits, dan taatilah penguasa-penguasa kamu, jika mereka beragama islam yang berpegang teguh kepada syari’at Allah, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk, jika dia durhaka kepada Sang Khalik. Dan dalam firman-Nya terdapat kata “minkum (di antara kamu)” merupakan dalil bahwa penguasa-penguasa yang wajib kamu taati adalah penguasa-penguasa yang muslim lahir dan batinnya, daging dan darahnya, bukan muslim  bentuk dan penampilannya saja. Pada ayat kemudian “kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”, maksudnya adalah putuskanlah sesuatu yang menjadi perselisihan tersebut dari hukum-hukum yang terdapat dalam kitab Allah dan hadits nabi –Nya, dan pada sambungan ayat,”jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,” ini adalah syarat yang menghapus jawabnya untuk menunjukkan lafazh yang terdahu;lu. Jawabnya yang terbuang; maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya. Ini bertujuan memotivasi agar umat islam senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an (Allah) dan hadits (rasul-Nya). Seperti perkataan,”jika kamu anakku maka kamu jangan menentang aku”. “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” ialah kembali kepada Allah dan rasul-Nya melalui Al-Qur’an dan hadits merupakan hal yang lebih utama bagi umat dan lebih baik akibat/dampaknya bagi umat.[3]
Setiap hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits, bila umat muslim tidak bersandar kepadanya, tidak pula kembali kepada pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ijma’ Ulama’) maka hukumnya bathil, yang mengikuti hawa nafsu semata dan tidak menjamin kemaslahatan hajat hidup orang banyak serta ridha Allah SWT.[4]
Hukum Islam ialah bentuk produk hukum yang sangat menjunjung tinggi kemaslahatan umat, sebenar-benar hukum yang mengedepankan hak asasi manusia, adil tanpa memandang pelaku kejahatan apakah kaya atau miskin, dan bukan produk hukum yang bisa ditawar-tawar serta tidak pula tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
B.     Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi
Isu ekonomi islam secara internasional telah lama bergulir. Guliran ini menemukan momentumnya pada awal 1970-an, ketika terjadi perang Arab-Israel yang membangunkan solidaritas dan kesadaran umat islam dari tidur panjangnya. Demikian pula halnya di Indonesia , meskipun rembesan-rembesan gairah ekonomi islam internasional telah masuk ke negeri ini sejak decade 1980-an, tetapi gerakan ekonomi islam menemukan momentumnya pada saat krisis ekonomi melanda negeri ini di ujung decade 90-an. Hal itu ditandai dengan maraknya berdiri lembaga-lembaga syari’ah dan sejenisnya seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) dan bank-bank syari’ah di sektor praktis.[5]
Perlu dipahami bahwa ekonomi islam merupakan suatu cara atau maksud untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan berdasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Perbincangan tentang prinsip moral tersebut dikemukakan Yusuf Qardhawi, yang mencakup:
Pertama, harus berpegang teguh kepada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melampaui batas. Intinya ekonomi islam, ekonomi yang dicapai secara halal, baik, adil, saling menguntungkan dan penuh dengan keridhaan Allah SWT.
Kedua, melindungi dan menjaga sumber daya alam karena alam merupakan nikmat dari Allah kepada hamba-Nya.[6] Dengan demikian orientasi ekonomi islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat yang berdimensi ibadah dan didasari dengan tujuan mencapai ridho Allah SWT.
            Persoalan ekonomi merupakan bagian esensial dari kelangsungan hidup manusia, sehingga tidak heran jika manusia sangat ekstra keras dalam melakukan apa saja, agar pemberdayaan ekonominya dapat terjamin. Pemberdayaan ekonomi secara baik, menjadi kata kunci memelihara dan meningkatkan pertumbuhan hidup secara baik. Soal bagaimana pemberdayaannya, Rasulullah menyerahkan persoalan pemberdayaannya kepada manusia karena mereka yang lebih tahu urusan dunianya. Penyerahan Rasulullah tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan pemberdayaan terhadap urusan hidup. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas norma hukum yang telah digariskan Allah SWT.
            Ini menunjukkan bahwa islam memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap aktivitas kehidupan, begitu juga halnya dengan prinsip pemberdayaan ekonomi islam. Prinsip pemberdayaan itu sejalan dengan tujuannya antara lain:
1.      Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral islam
2.      Mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal
3.      Terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata
4.      Terwujudnya kebebasan individual dalam konteks kemaslahatan dan kesejahteraan umat.[7]
Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus diawali dari beberapa keyakinan normatif. Keyakinan normatif yang dimaksudkan antara lain:
1.      Manusia merupakan Khalifah dan pemakmur bumi
2.      Setiap harta yang dimiliki terdapat bagian orang lain
3.      Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil
4.      Penghapusan praktik riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta.[8]
Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan ruang berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak dimiliki secara mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada manusia untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan bisnis islam.
C.    Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Politik
Manusia adalah human social atau makhluk sosial yang tak bisa berlepas diri dari hidup orang lain, saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia tak akan bisa bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain atau orang lain.
Manusia juga oleh Aristoteles disebutkan “zoon politicon” yaitu dalam artian manusia memerlukan tatanan-tatanan peraturan, norma-norma dan sistem dalam mengatur urusan hidup dan kehidupan serta mengatur kepentingan dan urusan wilayah/Negara berdasarkan tujuan bersama. Oleh karena itu ada dua poin penting kontribusi yang dapat ditarik dari penafsiran Quraish Shihab terhadap Al-Qur’an tentang kekuasaan, yaitu:
1.      Penegakkan Etika dalam Kehidupan Politik
Kekuasaan politik adalah untuk mengatur masalah-masalah umat, maka apapun proses politik harus dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika yang bersumber pada ajaran agama. Ini sesuai dengan pesan utama Rasulullah SAW, bahwa ia tidak diutus kedunia melainkan untuk menyempurnakan etika (makhluk) manusia.
Quraish Shihab menolak pandangan yang mengahalalkan segala cara untuk mencapai tujuan . Pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor, dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan jangan bawa-bawa moralitas dalam arena politik, dan  jargon-jargon lain yang berusaha menjustifikasi segala cara untuk mencapai tujuan politik, adalah cara pandangan yang sesat lagi menyesatkan. Orang boleh saja berupaya untuk menggapai kekuasaan politik, bahkan yang tertinggi sekalipun, namun ia tidak boleh melupakan nilai-nilai moral dan etika.[9]
Bagi Quraish, agama harus mampu berperan mengarahkan kehidupan sosial menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah naungan maghfirah Allah, yang dalam bahasa Al-Qur’an diungkapkan dengan baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur, menurutnya, ada tiga peran agama dalam menwujudkan hal demikian, yaitu:
1.      Agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia
2.      Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat sesuatu kekuatan pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi masyarakat
3.      Agama dengan nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai isolator yang menghambat seseorang dari segala penyimpangan.[10]
Menurut Quraish juga, dalam pandangan agama, Tuhan memberi kemampuan kepada pemerintah untuk meluruskan yang keliru dan mendorong kepada kebenaran melebihi kemampuan tuntutan-tuntutan-Nya yang termaktub dalam kitab suci. Dalam konteks ini hadits Nabi menyatakan yang artinya “Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang tidak tercegah melalui Al-Qur'an”.[11]
Dengan kekuasaan yang dimiliki pemerintah, sekian banyak hal dapat dicapai dan sekian banyak keburukan dapat tercegah. Dengan demikian, kekuasaan politik yang dilandasi etika yang kuat tentu akan melahirkan masyarakat yang beretika pula.
2.      Pemihakan Terhadap Kepentingan Masyarakat
Seseorang memperoleh kekuasaan politik adalah berdasarkan kontrak sosial. Masyarakat yang dipimpinnya telah menyerahkan sebagian haknya untuk diatur urusan-urusannya dan menyatakan kepatuhan kepadanya. Bentuk konkretnya pada masa lalu diwujudkan ketika rakyat membai’at pemimpin. Dalam masa modern sekarang hal ini direalisasikan dalam bentuk pemilu. Memang di dalam pemilu tidak semua orang secara aklamasi memilih seorang penguasa atau dengan kata lain tidak ada penguasa yang memperoleh suara secara mutlak. Namun dengan mayoritas suara yang diperolehnya dari masyarakat ia berhak menduduki kursi kepemimpinan. Meskipun sebagian rakyat tidak memilihnya, ketika ia terpilih secara sah, maka semua rakyat wajib mematuhinya.
Oleh sebab itu, sebagai imbalannya pemimpin yang terpilih wajib menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan mengayomi semua masyarakatnya, mengutamakan kepentingan mereka dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap mereka. Karena kekuasaan merupakan perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat serta penguasa dan Allah, maka apapun bentuk pelaksanaan kekuasaan akan dipertanggungjawabkannya di depan Mahkamah Allah kelak. Tidak ada satupun yang lepas dari pertanggungjawaban.[12]
Penutup
            Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah membalik telapak tangan. Kesejahteraan diindikasikan  dengan sejahtera umat secara sistem hukum, sistem ekonomi, dan sejahtera secara sistem politiknya.
·         Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanan-tatanan hukum syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam, bertindak semata beribadah dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya.
·         Sejahtera secara ekonomi diukur dengan adanya khalifah pemakmur bumi, setiap harta yang dimiliki ada bagian orang lain, dilarangnya setiap individu memakan/merampas harta orang lain.
·         Sejahtera secara politik diukur dengan penegakkan etika dalam kehidupan berpolitik dan pemihakan terhadap kepentingan masyarakat. Karena kekuasaan merupakan perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat serta penguasa dan Allah SWT.



[1] Naskah Konferensi Rajab 1432 H, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah, (Medan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2011), h. 19
[2] Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2012), h. 87
[3] Syaikh M. Ali Ash-shabuni, Shofwatut Tafasir, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2011), jilid I, h. 664
[4] Mahmud Syaltut, Terjemahan Tafsir Al-Qur’anul Karim, (Bandung: CV. Diponegoro, 1990), h. 399
[5] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fil Islam au Wazhifah al-Hukumah al-Islamiyyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 5
[6] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 117-118
[7] Ahmad Sabban Rajagukguk, Berdialog dengan Tuhan, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 194
[8] Ibid, h. 194
[9] Muhammad Iqbal, Etika Politik Qur’ani, (Medan: IAIN Press, 2010), h. 113
[10] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2000), h. 58
[11] M. Quraish Shihab, Menebar Pesan Ilahi, h. 377
[12] Ibid, h. 414
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar