Jumat, 31 Januari 2014

Hubungan Agama dengan Negara


A.    Mengapa Manusia Perlu Beragama?
Seandainya manusia tidak beragama, apa yang akan terjadi? Tanpa agama, apakah manusia dapat mengetahui norma-norma universal? Tanpa agama. Dapatkah manusia mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan di alam supra natural? Menurut kodratnya, manusia dalam hidupnya selalu mengakui adanya kekuatan yang maha dahsyat diluar dirinya. Manusia selalu merasa di dalam dirinya terdapat suatu kekuatan yang tidak mungkin di tandingi oleh kekuatan manusia dan alam sekitarnya. Pengakuan seperti ini biasa di sebut dengan beragama.1
Agama dapat di katagorikan dalam dua macam, yaitu agama Samawi dan agama Ardhi. Agama Islam, Kristen, dan Yahudi adalah agama-agama samawi, yaitu agama yang di yakini sebagai agama yang di wahyukan Tuhan kepada Nabi atau Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya. Dengan kata lain, agama-agama itu adalah agama seperti, Hindu, Budha, dan Konghucu adalah agama yang tidak diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya, tapi agama-agama itu adalah ciptaan manusia. Agama –agama yang di sebutkan terakhir itu adalah contoh dari agama bukan samawi, atau agama ardhi.
Agama samawi diyakini sebagai agama yang di wahyukan Tuhan yang secara metaforis dapat dikatakan diturunkan dari langit. Oleh karena itu di sebut agama samawi. Samawi barasal dari kata As- sama’ yang berarti langit. Sedangkan agama ardhi, secara generik berarti bumi. Ardhi adalah kata dalam bahasa arab yang berarti bumi. Agama ardhi adalah agama yang tidak diturunkkan dari langit, tapi timbul dari pemikiran manusia dan hasil perenungan yang mendalam. Karena salah satu unsur agama adalah kitab suci, maka agama samawi mempunyai kitab suci yang di sebut kitab samawi pula.
Kitab-kitab suci seperti Al-Qur’an, Injil, Taurat, dan Zabur adalah kitab-kitab samawi, karena di wahyukan Tuhan kepada para nabi dan rasul menyebarkan kitab-kitab ini. Sedangkan kitab-kitab suci seperti Weda dalam agama Hindu, Tripitaka dalam agama Budha, adalah tidak kitab Tuhan kepada para pembawa dan penyebar agama-agama itu, tetapi di buat atau dikarang oleh pendiri-pendiri agama itu.2
Manusia beragama karena memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Dengan agama, manusia juga mendapatkn nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan akalnya semata.
B.     Mengapa Manusia Perlu Bernegara?
Bayangkan bila suatu masyarakat tidak mempunyai negara, apa yang akan terjadi? Bagaimana jika tidak ada wilayah, tidak ada pemerintahan, tidak ada kepala negara? Apakah dalam kondisi seperti itu, masyarakat tadi dapat hidup dengan teratur? Dapatkah mereka menjalankan aturan bersama? Dapatkah mereka menjalankan aktivitas dengan tertib?
Pada mulanya, hidup sendiri-sendiri. Selanjutnya, karena tidak dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Oleh karena itu, mereka kemudian bergabung dengan manusia-manusia yang lain. Karena jumah mereka semakin banyak, maka diperlukan pemimpin dan aturan-aturan yang disepakati.3
Mereka selanjutnya juga memerlukan fasiltas-fasilitas untuk memudahkan jalannya kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, mereka membuat aturan-aturan untuk mereka sepakati bersama dalam kehidupan. Mereka juga membagi tugas setiap  orang atau agar setiap kelompok agar semua urusan dapat di tangani tanpa ada penumpukan tugas pada seseorang saja.
Perkembangan selanjutnya, masyarakat memerlukan seseorang yang di segani, yang mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan tertentu bila terjadi sesuatu atas mereka. Orang seperti ini diperlukan sebagi penengah bila terjadi konflik di antara mereka. Dia pula selanjutnya yang mejadi pemisah sekaligus hakim dalam persoalan-persoalan yang menyangkut orang banyak. Orang yang berwatak seperti inilah yang kemudian mereka angkat menjadi pemimpin atau raja atau kepala negara.
Menurut Munawir Sjadzali, teori seperti diatas dikemukakan oleh  Ibnu Khaldun. Namun, sebelum Ibnu Khaldun telah ada pula tokoh lain yang telah mengungkapkan teori sama, yaitu Plato. Di samping itu, ada pula pemikir-pemikir islam sebelum Ar- Rabi’, Al- Farabi, Al- Mawardi, dan Al- Ghazali.4
Kembali kepada soal mengapa manusia perlu bernegara, tampaknya perlu disimpulkan bahwa manusia tidak akan dapat hidup dengan teratur tanpa adanya negara. Mereka juga tidak akan tertib dan tidak akan mampu menjamin keamanan bersama, tanpa adanya negara. Tanpa adanya wilayah, ketertiban umum bagi masyarakat juga tidak mungkin terjamin. 

C.    Bagaimana Hubungan Agama dan Negara?
Terdapat kesepakatan di kalangan kaum muslimin bahwa eksitensi negara adalah suatu  keniscayaan berlangsungnya kehidupan bermasyarakat. Artinya, menurut Hussein Muhammad (2000: 88), negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat. Sedangkan agama mempunyai otoritas yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hubungan antara agama dan negara menimbulkan pendekatan yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Pada hakekatnya, negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula, sehingga negara sebagai manisfestasi kodrat manusi secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, negara memilki sebab- akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri ( Kaelani, 1999:91-93).5
Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara adalah juga makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaanya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepadaNya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama dan keyakinan yang dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang menghubungkan agama dengan negara.
Berdasarkan uraian di atas, konsep hubungan negara dan agama sangat di tentukan   oleh dasar antologis manusia masing-masing. Keyakinan manusia sangat mempengaruhi konsep hubungan negara dalam kehidupan manusia. Berikut di uraikan dalam beberapa contoh  perbedaan konsep hubungan agama dengan negara menurut beberapa aliran atau faham:
1.      Hubungan Agama dan Negara Menurut Faham Teokrasi
Hubungan agama dan negara di dalam faham teokrasi di gambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut faham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata dalam kehidupan masyarakat bangsa,dan negara di lakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan negara dengan politik, dalam faham teokrasi juga di yakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
Ada kasus menarik yag dapat menggambarkan praktik kenegaraan dalam faham teokrasi seperti itu. Menurut sejarah, dalam kasus Perang Dunia ke II, rakyat Jepang rela berperang demi kaisar mereka, karena menurut mereka, kaisar adalah anak Tuhan. Di negara Tibert juga demikian bahwa apa yang di sebut sebagai Dalai Lama yang di yakini sebagai penjelmaan Tuhan dimuka bumi ini. Kedua kasus ini adalah contoh dari praktik pemerintahan dalam faham teokrasi langsung. Menururt faham teokrasi langsung, pemerintahan di yakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya negara di dunia ini adalah kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula.6
Selain sistem pemerintahan teokrasi secara lamgsung, ada pemerintah teokrasi langsung. Jika dalam pemerinta teokrsi langsung, raja atau kepala negara memerintah sebagai jelmaan Tuhan, maka dalam pemerintah teokrasi tidak langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memeritah adalah raja atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala negara atau raja di yakini memerintah atas kehendak Tuhan.
Kerajaan Belanda dapat di jadikan sebagai contoh untuk model ini. Dalam sejarah, raja di negara Belanda dapat di yakini sebagai mengemban tugas suci yaitu kekuasaan yang merupakan amanat suci (mission sacre) dari Tuhan untuk memalmurkan rakyatnya. Politik seperti yang diterapkan oleh pemerintah Belanda ketika menjaga Indonesia. Mereka meyakini bahwa raja mendapat amanat suci dari Tuhan untuk bertindak sebagai wali dari wilayah jajahannya itu. Dalam sejarah, politik Belanda seperti ini di sebut politik etis (etische politik).7 Dalam pemerintah teokrasi tidak langsung, sistem dan norma dalam agama dirumuskan dalam firman-firman Tuhan. Dengan demikian, negara meyatu dengan agama. Agama dengan negara tidak dapat di pisahkan.  Dari apa yang dipaparkan di atas, dalam di katakan bahwa dalam praktik kenegaraan teokrasi terdapat dua macam, yaitu teokrasi langsung dan teokrasi tidak langsung. Karena perbedaan faham ini. Maka praktik pemerintahan kedua jenis faham teokrasi inipun berbeda pula.
2. Hubungan Agama dan Negara Menurut Faham Sekuler.
Selain faham teokrasi, terdapat pula faham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan agama dan negara. Paham sekuer memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan anatara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam faham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah huungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut faham sekuler, tidak dapat disatukan.8
Dalam negara sekuler,  sistem dan norma-norma hukum positif dapat di pisahkan dengan nilai-nilai dan norma-norma agama. Norma-norma dan hukum dapat di tentukanatas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Meskipun memisahkan antara agama dan negara, pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini, tapi negara tidak ikut campur tangan dalam urusan negara.
3. Hubungan Agama dan Negara Menurut Faham Komunisme.
Faham komunisme memandang hakikat hubungan negara dan agama berdasarkan filosofi matearelisme dialektis dan matearelisme historis. Faham ini menimbulkan faham atheis, yang berarti tidak bertuhan. Faham yang di pelopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992:97-8). Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama, dalam faham ini, di anggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.
Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian menghasilkan mayarakat negara. Sedangkan agama di pandang sebagai realisasi fantastik manusia, dan agama adalah keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus di tekan, bahkan di larang. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.
4. Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam.
Dalam islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.9
Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hukum agama dan negara ini di ilhami dengan oleh hubungan yang agak canggung dengan islam seagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) di kalangan umat islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak di atur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu,karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebaba seperti yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon keduniaan.
Selai hal-hal yang di sebutkan di atas, kitab suci AL-Quran dan Hadis tampaknya jyga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebut dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh karangan para ahli.
Tentang hubungan agama dengan negara dalam islam, menurut Munawwir Sjadzali (1990:235-236), ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama. Aliran yang menanggapi bahwa islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup segala- galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena itu agama tidak bisa dipisahkan dengan negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta sebaliknya.
 Aliran kedua. Mengatakan bahwa islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena islam tidak mengatur hidup bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad tidak punya misi untuk mendirikan negara.
 Aliran ketiga, berpendapat bahwa islam tidak mencakup segala-galanya. Tapi mencakup seperangkap prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat. Termasuk bernegara. Oleh karena itu, dalam bernegara, umat islam harus mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang ajarkan secara garis besar umat islam.
Sementara itu, Husein Muhammad (2000:88-94) menyebutkan bahwa dalam islam ada dua model hubungan agama dan negara. Model pertama, ia sebut sebagai hubungan simbiosis-mutualistik.
Hubungan integralistik dapat di artikan sebagai hubungan teolitas, dimana agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integral). Ini jiga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaliguis lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal pemisaham agama antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi. 10
Model hubungan kedua adalah model hubungan simbiosis mutualistik. Model huungan agama dan negara segara model ini, masih menurut Husein Muhammad (2000:92-94), menegaskan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal iini hanya dapat terlaksana bila ada lembaga yang bernama negara. Sementara itu negara juga tidak dapat berjalan berdiri sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam negara.
Ibnu Taimiyah, seorang tukoh terkenal Sunni Salafi, bahwa agama dan negara benar-benar berkelindan. Tanpa kekuasaaan negara yang bersifat memaksa, agam berada dalam bahaya. Sementara itu, negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik (al- Siyasah:161). Teori seperti ini juga dikemukakan oleh pemikir politik Islam lainnya. Seperi al- Ghazali dan al- Mawardi. Dalam buku teori politiknya yang amat terkenal, al-Mawardi (Tanpa Tahun:3) mengungkapkan bahwa” negara di bangun untul menggantikann tugas kenabiaan dalam ragka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia”. Bagi  tokoh ini, kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan harus di jadikan landasan kekuasaan negara.
Selanjutnya, Al-Ghazali (:149) dalam bukunya Aliqtishad fiali’tiqad, mengatakan bahwa agama dengan negara adalah dua anak kembar. Agama adalah dasar, dan penguasa/kekuasaan negara adalah penjaga. Segala sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur, dan segala sesuatu yag tidak memiliki penjaga akan sia-sia. Lebih lanjut  Al- Ghazali menyimpulkan bahwa sultan (pemimmpin negara/ kekuasaan) adalah keniscayaan dalam sistem agama. Sementara itu sistem agama adalah keharusn mutlak dalam mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah maksud para nabi diutus Tuhan. Maka adanya pemimpin negara merupakan keharusan agama yang tidak bisa di biarkan begitu saja.

Kebijakan Politik Tentang Agama
 Adakah perbedaan antara kebijakan politik pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru tentang agama? Apakah kebijakan pemerintah pada masa lalu itu berbeda pula dengan kebijakan pemerintah pasca era reformasi? Jika ada perbedaan, Apakah implikasinya terhadap kehidupan beragama di Indonesia? Pertanyaan ini tentu memerlukan kajian yang cukup mendalam.
Di masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno ingin memisahkan agama dengan negara. Agama harus berdiri dengan sendiri, dan agama tidak usah di kaitkan dengan negara. Pendapat Soekarno itu diilhami oleh pengalaman Musthafa Kammal Ataruk di Turki dengan ajaran sekulerisasinya. Meskipun demikian, pemerintah Soekarno, seperti yang dilihat, bagaimanapun tetap mengurus soal-soal yang berkaitan dengan agama. Menurut Faisal Ismail (1999:35-36) Soekarno tidak memutuskan secara radikal antara agama dengan negara, karena agama dalam pandangan politiknya tetap mempunyai peran dalam negara. Daalam pidatonya tentang hubungan kedua lembaga ini, Soekarno mengatakan bahwa, menurut cita-cita islam, negara harus bersatulah dengan agama. Negara bisa bersatu dengan agama, meskipun asa konstitusinya memisahkan ia dari agama. Itulah yang di paparkan Soekarno (1964:,456) dalam bukunya yang terkenal, Di bawah Bendera Revolusi.11
            Di masa Orde Lama terjadi perdebatan yang amat tajam antara Soekarno, yang menamakan dirinya sebagai kelompok nasionalais, dan kelompok M.Natsir, yang menyebut dirinya sebagai modernis. Kelompok Natsir berpendapat bahwa, nilai-nilai agama harus dijalankan dalam bernegara. Negara harus menjalankan nilai-nilai agama. Negara dapat berbentuk apa saja, tapi nilai-nilai agama harus dijalankan di dalamnya.
Penjelasan lebih lanjut tentang polemik Soekarno dan Natsir ini  di jelaskaan oleh Moh. Mahfud (1999:55-57) sebagai berikut. Soekarno berpendirian bahwa demi kemajuan agama dengan negara sendiri, negara dan agama harus di pisahkan. Sedangakan Natsir berpendirian sebaliknya, bahwa agama dan negara harus menjadi satu. Artinya agama harus di urus oleh negara, sedangkan negara di urus berdasarkan ketentuan-ketentuan agama.
Di masa pemerintahan Orde Baru, hubungan agama dengan negara  mengalami perubahan- perubahan dan perkembangan- perkembangan yang cukup signifikan. Pada mulanya pemerintah menaruh kecurigaan terhadap Islam. Ini timbul menurut, Masykuri Abdillah (1999:43-44), karena pemerintah Orde Baru mengkhawatirkan polititasi islam dan kemampuannya menggerakkan massa., yang dalam waktu singkat dapat melawan mereka. Ini juga di sebabkan karena kelompok militer yang mendukung pemerintahan Orde Baru banyak berasal dari kelompok abangan dan priyayi (aristokrat dan birokrat jawa). Pola semacam ini, menurut Abdul Azizi Thara (1996: 240-243) di sebut hubungan sifat antagonistik.12
Dalam kata yang lebih tegas kebijakan politik pemerintah Orde Baru terhadap Islam, adalah bersifat mendorong berbagai aktivitas politik Islam. Demikian kesimpilan Allan Samson, seperti di kutip Masykuri Abdilllah (1999:43-44). Dengan tema lain, dapat dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru lebih suka memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem kepercayaan bagi pengikutnya, ketombang sebagai gerakan ideologi atau poliik. Ini sama dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang di cetuskan oleh Snuock Hurgronja, seorang Islamog Belanda yang terkenal di akhir abad ke-19. Inilah yang oleh Bakhtiar Effendi (1998) di sebut dengan “penjinakan’ idealisme dan aktivitas politik islam.
Kebijakan politik yang amat menyolok tentang agama di masa pemerintahan Orde Baru adalah penetapan asas tunggal bagi parai politik dan ORMAS. Kebijakan asas tunggal Pancasila ini, menurut Azyumardi Azra, menandai puncak atau selesainya program de-islamisasi politik masa Orde Baru. Maka politik islam seolah-olah telah tamat. Setidaknya secara formal, semua PARPOL yang ada hanya mempunyai asas agama tertentu, termasuk Islam.
Kondisi seperti gambaran di atas, secara berangsur berubah menjelang tahun 90-an. Masa inilah yang di sebut masa bulan madu (rupprocchement) antara umat islam dan pemerintah. Di masa ini di mungkinkan terbentuknya ICMI, Bank Muamalat, BPR Syari’ah, pelaksanaan Festival Istiqlal, penetapan UU tentang Sistem Pendidikan Islam, UU Peradilan Agama dan lain-lain yang mengakui eksitensi umat muslimin. Inilah yang di sebut oleh Munawwir Sjadzali-mantan Menteri Agama RI- bahwa inspirasi umat islam justru lebih banyak terkomodasi di saat Indonesia tidak ada partai Islam. Lebih lanjut Munawir Sjadzali (1992:10) mengatakan bahwa kehidupaan keagamaan khususnya sangat baik justru pada waktu tidak ada lagi partai berbenderakan Islam yang mewakili perjuangan Islam serta penyalur eksklusif dari aspirasi umat islam.
Sebagai rangkuman apa yang di paparkan di atas, ganbaran Syafi’ii Anwar (1995:ix-ix) dapat membantu kita memahami lebih sistematis tentang hubungan agama negara. Format hubungan Islam dan biokrari dalam kurun waktu 1966-1993 mengalami tiga periodisasi. Periode pertama, periode awal Orde Baru hingga 1970-an, yang mencerminkan hubungan anatara hegemonik antara islam dan pemerintah Orde Baru. Periode ini di tandai dengan kuatnya negara yang secara idio-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik  di kalangan masyarakat. Pada periode ini timbul penolakan umat islam terhadap konsep modernisasi yang di keluarkan pemerintah, sehingga menimbulkan ketegangan di antara ke dua lembaga ini. Inilah oleh Bakhtiar Effendi (1998:60-61) di sebut hubungan tidak serasi antara islam dan negara.
Periode ke dua, masih menurut Syafi’i Anwar, adalah periode 1980-an, di mana hubungan antara islam dan biokrasi bersifat resiprokal, yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik serta pemahaman di antara ke dua belah pihak. Soal politik, misalnya, di selesaikan bersama dan di harapkan dapat mempertemukan kepentingan masing-masing. Dalam periode resiprokal ini timbul kesadaran pemerintah bahwa islam merupakan demonisasi politik tak bisa di sampiingkan. Tindakan memarginalkan islam adalah tindakan yang tidak menguntungkan. Jajaran birokrasi menyadari bahwa para intelektual islam mempunyai potensi yang amat signifikan dalam pembangunan bangsa. Ini perlu di pertemukan dengan gagasan pemerintah Orde Baru. Pola seperti ini oleh Abdul Aziz (1996:262-264) Ddi sebut hubungan bersifat resiprokal kritis.
Periode ke tiga adalah dekade 1990-an , berkat artikulasi dan peranan  cendekiawan muslim, hubungan antara islam dan Orde Baru berkembang menjadi saling akomofdatif. Hal ini di tandai dengan semakin responsipnya kalangan birokrasi terhadap, yang antara lain di tandai dengan lahirnya sejjumlah keijakan yamh mengakomodasi aspirasi umt islam. Tarmizi Taher (1998:3) mantan Menteri Agama di masa Orde Baru, menyimpulka bahwa partisipasi pemimpin agama sangat besar dalam pembangunan Nasional, khususnya dalaam lapangan pendidikan  agama, ekonomi, lingkungan hidup, hak asasi manusia, kesehatan, keluarga berencana dan sebagainya. Di era, menurut Bakhtiar Efffendy (1998:332-334) ada hubungan yang integratif antara islam dan negara. Setelah periode ketiga itu, lahir priode reformasi, di mana hubungan agama dan negara masih sulit di tebak dan masih terus berkembang.
Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap agama dan negara di masa reformasi? Ini perlu diskusi lebih lanjut. Pemerintah reformasi, yang di awalai dengam lengsernya Soeharto dan kursi kepresidenan dan digantikan oleh BJ. Habibie, merupakan tonggok awal sejarah demokrasi dalam arti  yang luas di negara Indonesia. Demokrasi ini tentu saja berakibat pada tebukanya simpul simpul  otoritarianisme pada orde-orde sebelumnya. Ini berdampak pula pada kebebasan berpolitik dan mengekspresikan ajaran-ajaran agama.
Kebebasan politk, yang di tandai dengan munculnya 48 partaai pemilu peserta PEMILU tahun 1999, di mana partai politik bebas menentukan asasnya dan tidak lagi haru menggunakan asas Tunggal- Pancasila, merupakan salah satu indiktor bahwa pemerinytah sudah mengurangi intervensi kebebasan politik kepada warga negara Hal inipun masuk ke dalam sektor agama, di mana pemerintah memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk mengatur dan mengamalkannya. Hal tersebut tampak telihat dengan di berikan kebebasan kepada pemeluk agama Konghucu umtuk mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan dimasa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meskipun hal belum di lakukan oleh pemerintah sebelumnya, Presiden BJ Habibie.13



PENUTUP
Negara diartikan sebagai organisasi tertinggal di antara kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dalam konsep islam, tidak di temukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara.
Hubungan agama dengan negara di indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teoraksi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan gama dengan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannnya.Maka dari itu agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan dengan negara di Indonesia sangat membantu apa yang sering di sebut oleh banyak kalangan sebagai simbiotik-mutualita.


DAFTAR PUSTAKA
PUSLIT  IAIN Syarif Hidayatullah,2002, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi HAM & Masyarakat Madani , Jakarta : IAIN Jakarta Press
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Prof. Dr. Azyumardi, MA, 2008,  Pendidikan Kewargaan, Jakarta : ICCE UIN


1 PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, pendidikan kewargaan Demokrasi HAM & Masyakarat Madani, (Jakarata, IAIN Jakarta,2008), hlm 121
2 Ibid, hlm 121.
3 Prof.Dr. Komaruddin Hidayat dan Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta: ICCE UIN, 2008), hlm 101.
4 Ibid
5 Ibid
6 PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, pendidikan kewargaan Demokrasi HAM & Masyakarat Madani, (Jakarata, IAIN Jakarta,2008), hlm 121
7 Ibid
          9 Ibid
10  PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, pendidikan kewargaan Demokrasi HAM & Masyakarat Madani, (Jakarata, IAIN Jakarta, 2008), hlm 121

11 Ibid, hlm 121

12 Prof.Dr. Komaruddin Hidayat dan Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta:ICCE UIN,2008),hlm 101

13 Ibid, hlm 101


Oleh: Fadilah Tulhapipah

2 komentar: